Ini adalah ceritaku tentang bapak mertua. Kakek enam cucu yang kini telah berusia 85 tahun ini, masih bersemangat dalam melestarikan budaya Jawa. Beliau bukan siapa-siapa, juga bukan sosok terkenal yang dikelilingi banyak penggemar. Namun beliau adalah putra asli Blitar yang tumbuh dan besar di kalangan masyarakat Jawa pada umumnya.
Mbah Kardi atau Haji Soekiman Hadipradjitno (dokpri) |
Kecintaannya pada budaya Jawa, mendorong beliau untuk
mendirikan sebuah sanggar, dengan harapan agar budaya Jawa tetap lestari
ditengah gempuran arus globalisasi. Dimana era modernisasi membuat sebagian
generasi muda melupakan budaya daerahnya. Mereka lebih mencintai budaya
kebarat-baratan yang menurutnya lebih modern dan tidak ketinggalan jaman,
dibandingkan budaya daerah yang dianggapnya kuno dan tidak up to date.
Sosok Mbah Kardi Pendiri Sanggar Pasinaon di Blitar
Nama lengkapnya Soekiman Hadipradjitno. Namun masyarakat
sekitar lebih sering memanggilnya “Mbah Kardi”. Terkadang ada yang menyebutnya Haji Soekiman. Beliau adalah seorang
purnawirawan TNI-AD yang telah pensiun sekitar tahun 1990 an. Masa pensiunnya
beliau isi dengan berbagai aktifitas bermanfaat. Bercocok tanam di sawah adalah
rutinitas hariannya sembari mengisi masa pensiun. Dan disela-sela aktifitasnya
di sawah, beliau juga memperdalam budaya Jawa.
Pendiri Sanggar Pasinaon Pang Blitar (dokpri) |
Bersama seorang temannya, yang sama-sama purnawirawan abdi
negara, beliau memperdalam budaya Jawa di Keraton Surakarta Hadiningrat. Mengapa
harus Keraton Surakarta Hadiningrat? Karena sumber budaya Jawa satu-satunya di
Indonesia hanya ada di Keraton Surakarta Hadiningrat. Dan berkat ketekunannya
menimba ilmu itulah Mbah Kardi akhirnya mendapat gelar kehormatan dari keraton
dengan nama “Kanjeng Raden Rio Aryo Haji Soekiman Purnoyudo Nagoro”.
Berdirinya Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang (Cabang) Blitar
Barangkali sebagian orang masih belum paham apa itu “Sanggar
Pasinaon Pambiwara”, karena ini merupakan istilah bahasa Jawa yang berarti
sanggar pembelajaran pembawa acara khusus bahasa Jawa. Namun demikian, sanggar
ini sudah bersinergi dengan berbagai lembaga serupa yang telah lahir di tengah
masyarakat.
Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang (Cabang) Blitar - dokpri |
Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang (Cabang) Blitar ini
didirikan pada tahun 2004, tepatnya tanggal 30 Juni 2004 oleh Bapak Soekiman
Hadipradjitno dan Bapak Moejiono (almarhum). Proses pendirian sanggar pun harus
melalui beberapa tahapan. Mulai dari perijinan langsung di Keraton Surakarta
Hadiningrat, sampai dengan pengajuan proposal ke Walikota Blitar. Setelah
proposal disetujui oleh Walikota Blitar, maka sanggar pun resmi dibuka dan siap
menerima siswa yang memiliki minat memperdalam budaya Jawa. Dengan demikian
Walikota Blitar otomatis menjadi penanggung jawab berdirinya sanggar ini.
Berdirinya Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang Blitar ini
didasari atas ketakutan akan kepunahan nilai-nilai budaya Jawa yang ada di kota
Blitar, karena dampak negatif arus globalisasi. Ragam nilai yang ditanamkan di
sanggar ini juga menganut nilai religius
Jawa, nilai filosofis Jawa dan nilai etis Jawa, sehingga budaya Jawa tetap
lestari utamanya bagi generasi muda, karena merekalah pewaris tradisi yang
berharga ini.
Nyatanya antusias masyarakat Blitar untuk belajar budaya
Jawa sangat tinggi. Terbukti saat awal dibuka, terdapat 72 siswa yang belajar
disini. Namun demikian dari 72 siswa yang belajar, hanya 34 siswa yang
dinyatakan lulus dan berhasil di wisuda di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Kini, Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang (Cabang) Blitar sudah
20 tahun berdiri. Sejak awal berdiri hingga sekarang tercatat sudah membuka 24
angkatan dan meluluskan kurang lebih 500 siswa yang kesemuanya berhasil di
wisuda di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Ini membuktikan bahwa Sanggar Pasinaon Pambiwara menjadi
wadah yang tepat bagi siapa saja, apakah itu pegawai negeri, pegawai swasta,
TNI, Polri , mahasiswa, bahkan masyarakat umum untuk memperdalam berbagai
pengetahuan yang berhubungan dengan budaya Jawa.
Mengenal Seluk Beluk Tentang Sanggar Pasinaon Pambiwara
Sanggar Pasinaon Pambiwara Cabang Blitar ini merupakan
lembaga non formal yang bersumber dari “Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta
Hadiningrat (Pendidikan Budaya Keraton Surakarta Hadiningrat)” yang berbasis
budaya Jawa. Para siswa menempuh pembelajaran selama 6 (enam) bulan, dimana dalam
setiap angkatan menampung kurang lebih 60 siswa.
Proses pembelajaran di sanggar ini cukup unik, semuanya
menggunakan budaya Jawa, termasuk bahasa yang digunakan dalam mengajar adalah
bahasa Jawa halus khas keraton atau “kromo inggil”. Bahkan lagu-lagu Jawa juga
mengiringi setiap pembelajaran. Sementara untuk pemateri atau pengajar, yang
biasa disebut “dwijo” menggunakan baju layaknya “abdi dalem keraton”, sesuai
dengan jabatan masing-masing.
Saat acara Grebeg Pancasila (atas) Suasana pembelajaran di sanggar (bawah) - dokpri |
Lalu untuk proses pembelajaran di Sanggar Pasinaon Pambiwara Cabang Blitar dilaksanakan pada hari Sabtu siang dan Minggu pagi. Seluruh siswa tidak diberikan seragam khusus, melainkan mereka memakai pakaian bebas rapi, dengan atasan hem berkrah dan diperbolehkan memakai sandal.
Sedangkan kurikulum yang diajarkan selama 6 (enam) bulan
menitikberatkan pada budaya Jawa, yang terdiri dari beberapa materi berikut
ini:
- Kabudayan Jawi (Budaya Jawa)
- Basa Jawi (bahasa Jawa)
- Tatakrama – Kasusilan/Subasita (Tatakrama – Kesusilaan)
- Kawruh Gendhing (Pengetahuan tentang lagu/tembang Jawa)
- Kawruh Beksan (Pengetahuan tentang pra pernikahan)
- Pancasila
- Seratan Jawi (Tulisan/aksara Jawa)
- Tatabusana Jawi (tatabusana Jawa)
- Tatacara lan upacara Manton (latihan berbicara dalam bahasa Jawa)
- Gladen Macapat (latihan menyanyi bahasa Jawa)
Materi-materi yang diajarkan kepada siswa sanggar terdiri
dari 30 SKS atau 150 jam, dimana 1 SKS ditempuh dalam 5 jam pembelajaran. Dan
semua materi harus diselesaikan dalam kurun waktu 6 bulan. Dari 150 jam
pembelajaran ini dibagi menjadi dua tahapan, yaitu 55 jam “sesuluh” atau teori
dan sisanya yaitu 95 jam adalah “gladhen tumindak” atau praktek.
Dengan didirikannya sanggar semacam ini diharapkan dapat
mencetak generasi muda yang berbudaya Jawa. Mereka bisa tampil penuh percaya
diri dan dapat membaur ditengah-tengah masyarakat. Nyatanya sebagian siswa yang
telah menempuh pembelajaran di Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang Blitar ini telah
menemukan jati dirinya masing-masing. Selain mendapatkan sebuah kehormatan di wisuda
langsung di Keraton Surakarta Hadiningrat, mereka juga mendapatkan penghasilan
tambahan berkat kepiawaiannya memandu acara dengan menggunakan bahasa Jawa.
Terkadang mereka juga tergabung dalam grup-grup paduan suara
khusus tembang Jawa yang kerap tampil di berbagai acara di Blitar, seperti
peringatan Haul Bung Karno, Grebeg Pancasila atau berbagai kegiatan budaya yang
diselenggarakan di Blitar.
Kesaksian Dari Siswa Lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang (Cabang) Blitar
Hampir semua siswa lulusan sanggar ini telah menemukan jati
dirinya masing-masing. Seperti Alif contohnya (nama samaran). Dulunya ia
hanyalah seorang petani, yang hari-harinya berkutat dengan lumpur di sawah.
Ditangannya hanya ada cangkul dan bibit tanaman. Bahkan orang-orang di sekitarnya sering meremehkan keberadaannya.
Begitu belajar di sanggar, pengetahuan tentang budaya Jawa perlahan
dikuasainya. Dan setelah lulus dari sanggar, ternyata rezeki berpihak padanya.
Alif sering mendapat panggilan untuk menjadi pembawa acara di berbagai hajatan,
seperti acara nikahan, sunatan dan sebagainya. Bahkan ia pun tampil menjadi
lelaki yang gagah dengan pakaian adat Jawa yang dikenakannya. Pundi-pundi
rupiah pun akhirnya ia dapatkan dengan mudah.
Kirab Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang Blitar saat acara Grebeg Pancasila (dokpri)
Demikian halnya dengan Mbah Kardi. Selain piawai menjadi
pembawa acara dengan bahasa Jawa yang khas, beliau juga pandai melantukan
tembang-tembang Jawa. Suaranya yang merdu, membuat pendengarnya terpesona.
Hebatnya lagi beliau juga pandai menciptakan tembang-tembang Jawa. Terkadang
lirik tembang-tembang Mocopat diubahnya dengan kalimat beliau sendiri. Inilah
yang membuat beliau selalu membawa catatan kecil kemanapun pergi.
Seperti saat acara ulang tahun ibu mertua. Kebetulan kami
semua, para anak, menantu dan cucu-cucu diajak makan bersama di sebuah rumah
makan di Blitar. Rumah makan dengan nuansa Jawa kuno lengkap dengan “Live Music”
adalah tempat favorit mertua kami, karena disitulah ayah mertua alias Mbah
Kardi dapat menunjukkan bakatnya bernyanyi tembang Jawa. Di situ pula beliau
secara spontan menciptakan kata-kata indah yang dinyanyikan dengan iringan musik
keroncong. Sontak seluruh pengunjung terpesona hingga memberikan tepuk tangan
meriah di akhir tembang yang dinyanyikan Mbah Kardi. Inilah cara beliau
membahagiakan dirinya. Dengan berkarya dan menghibur penonton, membuat beliau
tampil energik dan terlihat lebih muda dari usianya.
Bersama JNE, Gasss Terus Semangat Kreativitasnya
Meski JNE telah berusia 33 tahun, namun pihaknya tetap
memegang prinsip “Connecting Happiness”, yaitu terus berkomitmen dalam
mendukung semangat kreativitas serta kontribusi secara nyata terhadap kemajuan
perekonomian negara. Hal ini dilakukan melalui berbagai langkah bisnis bersama
pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Seperti halnya cerita tentang Mbah Kardi. Beliau termasuk
salah satu sosok yang mampu menumbuhkan semangat bagi masyarakat Jawa secara
luas untuk terus kreatif demi melestarikan kebudayaan Jawa. Kiprahnya dalam
memperkenalkan budaya Jawa bagi masyarakat umum, membuat Mbah Kardi mampu
berinovasi dan membuat perbedaan yang lebih baik di sekitarnya.
sumber gambar: olah gambar dari internet dan dokumen pribadi dengan canva |
Meski usianya telah mencapai 85 tahun, tapi tak membuat Mbah
Kardi patah semangat. Beliau selalu berharap generasi muda, khususnya yang ada
di kota Blitar akan tetap mencintai budaya Jawa agar tidak punah di makan
jaman. Pribadinya yang santun dan ramah terhadap siapapun membuat beliau di
segani banyak orang. Bahkan, dari tahun ke tahun jumlah siswa di Sanggar milik
beliau makin bertambah. Energi dan semangat yang beliau tularkan kepada
teman-teman seperjuangan yang ikut membantu membesarkan sanggar membuat sanggar
ini tetap berdiri kokoh, makin maju dan berinovasi.
Sesuai dengan tema JNE “Gasss Terus Semangat Kreativitasnya”,
meski Sanggar Pasinaon Pambiwara Pang (Cabang) Blitar ini lebih muda usianya
dibandingkan JNE, namun keberadaannya di kota Blitar ini mampu membantu
meningkatkan perekonomian para siswanya yang telah lulus dari sanggar. Berbagai
pekerjaan atau side job akhirnya
mereka dapatkan, mulai dari pembawa acara, pemimpin doa dalam bahasa Jawa
sampai pengisi acara dengan melantunkan tembang Jawa, membuat mereka pun
menghasilkan pundi-pundi rupiah.
Mbah Kardi juga sering tampil bersama para “dwijo” atau pengajar
sanggar di berbagai hajatan besar di kota Blitar. “Kanjeng” adalah panggilan
mereka untuk Mbah Kardi, sosok yang menginspirasi generasi muda di kota Blitar!
Sumber cerita: berdasarkan wawancara dengan narasumber
Sumber gambar: dokumen pribadi, diolah dengan canva
#JNE
#ConnectingHappiness
#JNE33Tahun
#JNEContentCompetition2024
#GasssTerusSemangatKreativitasnya
13 Komentar
Generasi muda yang masih pegang teguh berbudaya Jawa agak jarang skarang ini. Salut buat yang masih melestarikan budaya bahkan yang masih suka pake kebaya sehari2. Btw aku selalu pake JNE untuk ekspedisi paling deket dari rumah
BalasHapusduh keren banget mbah Kardi, sehat selalu ya, semoga semangat mbah Kardi untuk melestarikan budaya Jawa ikut menyebar ke generasi jaman now ya
BalasHapusJempol banget untuk JNE yang mengapresiasi kreativitas Mbah Kardi dalam melestarikan budaya Jawa.
BalasHapusSemoga generasi muda terinspirasi oleh semangat mbah Kardi dan melanjutkan langkah yang sudah dirintisnya.
Jujurly, aku kagum dengan orang-orang hebat yang tetap semangat melestarikan budaya Jawa seperti Mbah Kardi ini. Btw, aku pernah pakai jasa pengiriman JNE pas beli barang elektronik dan ternyata aman sampai tujuan.
BalasHapusMba..salut untuk mbah Kardi, sosok yang sangat peduli dengan kelestarian budaya ini. Sangat menginspirasi bagi kita2 ya..
BalasHapusMenurut daku memang perlu sanggar² seperti itu di bangun, agar pelestarian budaya terus terjaga, di tengah masifnya kebudayaan dari luar negeri yang masuk ya mbak
BalasHapusSalut untuk Mbah Kardi yang istikomah nguri2 budaya Jawa ya mbak. Meskipun jaman sudah modern, akar budaya jangan sampai dilupakan.
BalasHapusMba, masyaallah... salam hormat untuk bapak mertua. Anak cucunya pasti bangga dengan beliau. Terbayang dulu beliau memulai ini ketika usia berapa ya? Sungguh kreatif dan membantu negara melestarikan budaya. Thank you for sharing mba :)
BalasHapusIni bisa menjadi teladan terbaik agar anak muda sekarang memahami unggah-ungguh ketika berada di lingkungannya. Ga seenaknya sendiri dan tetap dengan perkembangan masanya, bersama JNE, Gasss Terus Semangat Kreativitasnya.
BalasHapusSanggar Pasinaon Pambiwara Cabang Blitar langsung terasa familiar di benak saya manakala mendapat informasi kalau sanggar ini melaksanakan kegiatan pada hari Sabtu siang dan Minggu pagi.
BalasHapusPasti senang meski seluruh siswa tidak diberikan seragam khusus, namun diperbolehkan memakai sandal. Nyaman banget ya
Wuih keren nih Mbah Kardi. Bikin orang yang lebih muda kayak aku malu deh. Orang tua tapi penuh semangat dan terus produktif. Huhu... jadi kepengen produktif dan berkreasi juga kayak beliau. Tapi apa ya yang aku bisa? Hadeuh, payah ya :(
BalasHapusMasya Allah untuk orang-orang seperti sosok Mbah Kardi. semoga masih banyak sosok seperti ini yang masih semangat kreatifitasnya
BalasHapusmenarik sekali ini.. memang kayaknya perlu ada sanggar2 kayak gini dan kerjasama ama pemkab untuk terus melestarikan budaya lokal. kalo dikelola dengan baik bisa jadi daya tarik tersendiri sih ya
BalasHapusSilahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...