Menelusuri Sejarah Makam Keramat Raden Ayu Pemecutan

Meski didominasi oleh kultur budaya Hindu, ternyata Bali juga menyimpan sejarah agama Islam. Salah satunya Makam Raden Ayu Pemecutan alias Hj. Raden Ayu Siti Khotijah dimana tempat ini disebut dengan "Kemarat Agung Pemecutan".


Makam Raden Ayu Pemecutan

Kebetulan saya sedang keliling kota Denpasar untuk mencari pedagang lontong kupang yang biasa mangkal di daerah Monang Maning. Setelah melewati jalan berbelok-belok, akhirnya sampailah saya pada deretan pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya disekitaran makam.


Makam Raden Ayu Pemecutan


Meski dalam masa PPKM, para pedagang itu tetap bersemangat menjual dagangannya. Ada lontong kupang, es dawet, es degan maupun bakso. Pembeli pun tak seramai hari-hari sebelum pandemi. Namun demikian masih ada beberapa pembeli yang ingin menikmati lezatnya aneka makanan yang dijual disekitaran makam. Termasuk saya.


Menikmati lontong kupang di siang hari rasanya luar biasa. Apalagi jika sudah lama tidak menyantap hidangan khas Surabaya ini. Lontong kupang ini merupakan makanan khas yang terdiri dari irisan lontong ditambah kupang putih yang telah dimasak (hewan laut semacam kerang bentuknya kecil sebesar biji beras dan biji kedelai, dan diambil dagingnya), diberi kuah petis dan perasan jeruk nipis. Biasanya lontong kupang ini dilengkapi dengan sate kerang dan lentho, yaitu kremesan dari singkong yang dibentuk bulat dan digoreng.


Seporsi lontong kupang biasanya disandingkan dengan segelas es degan (air kelapa muda). Bahkan ada yang mempercayai jika menyantap seporsi lontong kupang lengkap dengan es degan, maka segala penyakit yang ada dalam tubuh kita akan hilang, tubuh kita pun akan kembali sehat. Wallahua'lam ya.


Setelah selesai menikmati seporsi lontong kupang, saya pun menuju parkiran didekat makam. Sungguh takjub saya melihat pemandangan makam yang megah, karena baru kali ini saya berada di lokasi ini. Sayang.... karena PPKM area makam ini dikunci rapat, sehingga tidak ada akses bagi pengunjung untuk berziarah ke makam ini.


Makam Raden Ayu Pemecutan
sumber: google



Usut punya usut ternyata ini adalah makam keramat Raden Ayu Pemecutan alias Hj. Raden Ayu Siti Khotijah, dimana tempat ini merupakan perpaduan budaya Hindu dan Islam. Saya pun penasaran bagaimana sejarah atau asal mula makam ini hingga dijuluki "Keramat Agung Pemecutan".


Dari hasil googling, saya dapatkan sebuah cerita tentang asal muasal makam keramat ini. Ternyata makam ini memang menyimpan sejarah yang patut kita ketahui bersama. Makam ini tak lain adalah   makam salah satu Putri Raja Pemecutan yang bernama Gusti Ayu Made Rai, dan terletak di sebelah Pura Kepuh Kembar di area Setra Badung.


Gusti Ayu Made Rai  yang akhirnya berubah nama menjadi Raden Ayu Siti Khotijah, merupakan putri kesayangan Raja Pemecutan.  Sebelum pandemi makamnya sering  dikunjungi para peziarah.  Makam ini terbilang unik,  karena  satu–satunya makam muslim yang ada di antara pemakaman umat Hindu di Desa Pemecutan, Kecamatan Denpasar Barat.


Sekilas ada yang unik dari makam ini. Setelah memasuki gapura berwarna hijau toska, maka terlihat sebuah pohon Kepuh yang dibalut kain poleng tumbuh dari makam.  Sementara itu beberapa pangayah terlihat tengah sibuk menyapu dan membersihkan areal makam.  Makam ini menjadi simbol akulturasi kepercayaan Hindu dengan Muslim.  


Makam Keramat Raden Ayu Pemecutan
sumber:  google


Nah, yang membuat saya penasaran, konon katanya pohon Kepuh tersebut tumbuh dari rambut jenazah  putri Pemecutan. Dimana beliau adalah salah satu putri Raja Pemecutan yang telah memeluk Islam. Karena sebuah tragedi memilukan akhirnya sang putri dimakamkan diantara makam umat Hindu.


Menurut cerita Jero Mangku Made  Puger,  sang putri ketika beranjak dewasa terkena penyakit kuning yang menyebabkan tubuhnya terlihat menguning dan sangat lemah. Berbagai metode pengobatan  sudah dilakukan.  Namun tak ada yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut.  Karena putus asa, Raja Pemecutan akhirnya melakukan meditasi agar mendapatkan petunjuk untuk kesehatan putrinya.  Dari situlah akhirnya Raja Pemecutan  mendapat petunjuk  untuk melaksanakan  sayembara hingga ke luar Pulau Bali.


Bunyi sayembara itu adalah, "Siapa saja yang dapat menyembuhkan penyakit putri saya yang maparab (bernama) Gusti Ayu Made Rai, jika ia seorang wanita akan dijadikan keluarga kerajaan. Namun, jika laki- laki akan diperbolehkan menyuntingnya." 


Dan Sabda Pandita Ratu  tersebut akhirnya menyebar ke seluruh jagat hingga sampailah ke daerah Jawa,  dan didengar oleh seorang Syeh (guru sepiritual ) dari Yogyakarta.  Syeh ini  memiliki murid kesayangan yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura.  Maka diutuslah Pangeran Cakraningrat IV untuk menghadap Raja Pemecutan di Puri Badung.  


Dengan diiringi 40 pengawal, Pangeran Cakraningrat  berangkat menuju Puri Badung  untuk mengikuti sayembara.  Bukan hanya Pangeran Cakraningrat saja yang mengikuti sayembara ini, namun para pangeran bahkan putra raja dari tanah Jawa seperti Metaum Pura, Gegelang, Banten atau bahkan putra-putra raja dari Bali turut ambil bagian dalam sayembara ini. 


Semua berlomba-lomba untuk menyembuhkan putri raja.  Bahkan segala kesaktian dalam pengobatan juga dikerahkan, mulai dari  ilmu penangkal cetik, desti, ilmu teluh tranjana, ilmu santet, ilmu guna-guna, ilmu bebai hingga ilmu sihir. Semua  kawisesan dan kesaktian yang dimiliki para pangeran atau putra raja yang datang, ternyata tidak sanggup mengobati penyakit yang diderita sang putri. Hal itu justru membuat penyakit sang putri semakin parah, sehingga Raja Pemecutan betul-betul sedih dan panik. 


Namun ketika tiba giliran Pangeran Cakraningrat yang menunjukkan kebolehannya,  Sang Pangeran minta supaya Gusti Ayu ditempatkan di sebuah Balai Pasamuan Agung atau tempat paruman para pembesar kerajaan.  Sang Pangeran mulai mengobati  dengan merapal mantra-mantra suci.  Konon telapak tangan Pangeran memancarkan cahaya putih,  lalu berbentuk bulatan cahaya yang diarahkan langsung ke tubuh sang putri.  Dan ajaib, ternyata pengobatan ini berhasil. Sang putri berangsur- angsur pulih dari sakitnya.


Begitu putrinya sembuh,  Raja Pemecutan akhirnya memenuhi janjinya. Ia menikahkan putrinya  dengan pemuda yang sanggup menyembuhkan putrinya. Persiapan pernikahan  kedua insan berdarah ningrat ini pun digelar meriah di lingkungan Puri Pamecutan. Meskipun Pangeran  Cakraningrat IV adalah seorang muslim, Raja tidak mempermasalahkannya dan tetap memenuhi janjinya. Setelah resmi menikah,  Pangeran Cakraningrat lantas memboyong istrinya Gusti Made Ayu Rai yang telah berganti nama menjadi Raden Ayu Siti Khotijah pulang ke kerajaannya di  Bangkalan, Madura.


Menurut cerita, setelah sekian lama tinggal di Madura, Gusti  Made Ayu Rai merindukan kampung halamannya di Pemecutan, dan meminta izin kepada suaminya untuk menghadap sang ayah di Bali.  Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan Gusti Made Ayu Rai untuk pulang ke Bali, dengan diiringi oleh 40 orang pengawal.  Lalu sang Pangeran memberikan bekal berupa guci, keris, dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri.


Sesampainya di Kerajaan Pamecutan,  sang Putri disambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang Putri telah memeluk agama Islam.  Lantas Gusti  Made Ayu Rai  ditempatkan di Taman Istana Monang -Maning Denpasar dengan para dayang-dayangnya.


Suatu hari ketika Puri Pemecutan tengah  menggelar  sebuah upacara     Maligia atau Nyekah  (upacara Atma Wedana) yang dilanjutkan dengan Ngalinggihang (Menyetanakan) Betara Hyang di Pemerajan (tempat suci keluarga) Puri Pemecutan, Gusti Ayu Pemecutan berkunjung ke puri tempat kelahirannya.

Saat ia berkunjung, ternyata tepat sandikala (menjelang petang) di puri, Gusti Ayu alias Raden Ayu Siti Khotijah  melaksanakan ibadah sholat Maghrib di Merajan Puri dengan menggunakan mukena yang berwarna putih.   Tanpa disadari salah seorang patih di puri melihat hal itu. Para patih dan pengawal kerajaan tidak mengetahui bahwa Gusti Ayu telah memeluk Islam dan sedang melakukan sholat Maghrib.


Zaman itu ada sebuah kepercayaan, jika seseorang mengenakan pakaian atau jubah serba putih, itu pertanda sedang ngalekas atau mendalami Ilmu Pangleakan. Hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran Ilmu Hitam.  
Orang puri ketika itu tidak ada yang tahu jika sang putri telah memeluk agama  Islam. Jadi dia dianggap sedang ngalekas atau ngereh.


Akibat ketidaktahuan pengawal istana, 'keanehan' yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporkan hal tersebut kepada raja hingga membuat sang Raja murka.


Ki Patih kemudian diperintahkan untuk membunuh Gusti Ayu. Selanjutnya Gusti Ayu dibawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu yang pasrah berpesan agar  membunuhnya  menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih yang  dililit dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam (Tri Datu).


“Konde itu harus ditusukkan ke  arah dadanya. Ia juga berpesan jika ia sudah mati, maka dari badannya akan mengeluarkan asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka Gusti Ayu meminta tubuhnya dikubur sembarangan. Tetapi, apabila mengeluarkan bau harum, maka ia meminta makamnya dijadikan sebuah tempat suci yang disebut Keramat."


Konon, asap yang keluar dari tubuh sang putri ketika meninggal berbau sangat wangi. Maka dimakamkanlah jasadnya di sebelah Pura Kepuh Kembar. Uniknya dua hari setelah dimakamkan, sebuah pohon  tumbuh dari bagian kepala makamnya. Setelah diselidiki pohon itu ternyata tumbuh dari rambut sang putri. 


“Pohon itu sempat ditumbangkan dua kali karena dianggap mengganggu, tapi tetap tumbuh lagi. Setelah ditanyakan ke orang  pintar, ternyata memang pohon itu tumbuh dari tubuh beliau yang hingga kini tumbuh besar.”


Lantas, kenapa dimakamkan tepat di sebelah Pura Kepuh Kembar?  

Itulah pesan terakhir Gusti Ayu  sebelum meninggal karena ia telah membuktikan bahwa dirinya bukanlah seorang penganut Ilmu Pangleakan , seperti yang dituduhkan.


Dengan kejadian tersebut, rasa penyesalan mendalam pun terlihat dari raut muka Sang Raja. Ia telah menghabisi nyawa putri seyangannya yang jelas-jelas tidak bersalah. Dari kisah ini kita dapat mengambil hikmah bahwa jangan mudah percaya dengan cerita orang lain. Setiap kejadian hendaknya harus kita selidi kebenarannya. Setelah ada bukti nyatanya, barulah kita bertindak.


Semoga kita semua bisa memetik pelajaran dari setiap peristiwa!



(Diambil dari berbagai sumber)

Posting Komentar

9 Komentar

  1. sejarah yang menarik mbak
    aku sendiri baru tahu
    hikmah yang bisa diambil bener adanya, kalau di kehidupan sekarang sebelum kita bener bener menjatuhi vonis atau hukuman yang sembarangan, ada baiknya menyelidiki dulu kronologisnya

    BalasHapus
  2. Terima kasih sharing tentang hal ini mba..saya jadi makin penasaran dengan makam beliau ini.. Mudah2an suatu saat bisa berkesempatan ziarah ke sana

    BalasHapus
  3. MasyaAllah, sebesar itu rasa cinta Raden Ayu pada tanah kelahirannya.
    dan dia pun juga rela mengorbankan dirinya, harusnya jelasin juga dia lagi ngapain coba itu ya, kan kalau bilang lagi Shalat juga pasti Ayahnya ngerti, ikut sedih.

    BalasHapus
  4. aku baru tau nih mba ada makam keramat untuk Raden Ayu ini. What an interesting history as well here mba

    BalasHapus
  5. Mba, aku jadi kangen makan lontong KUpang. DI Sidoarjo biasanya banyak tapi aku udah lama sekali nggak makan. Makasih sudah berbagi mba

    BalasHapus
  6. Duh tragis banget ya meninggalnya sang putri? Gak ada yang tahu juga dia memeluk Islam :(
    Hehe bener lontong kupang biasanya ma es degan. Aku gak tawar makan makanan itu meski aku dr Surabaya, mesti kyk keracunan gtu walau sekadar incip kuahnya, gk tau knp. Kelapa muda penawarnya :D Gk nyangka di Bali ada makanan kek gtu :D

    BalasHapus
  7. Mengenal sejarah begini tuh bikin kita makin menghargai ya Mba. Moga ada rejeki bisa berkunjung ke sini juga diriku aamiin

    BalasHapus
  8. masyaaAllah sejarahnya, sayang sekali ga ada yg menjelaskan kalo Raden Ayu masuk Islam ya mbak. Jadi penasaran sama kerajaan Sang pangeran di Bangkalan, terimaksih kisahnya mbak

    BalasHapus
  9. Kisah sejarah yang menarik. Salah paham bisa berujung malapetaka hilangnya sebuah nyawa meninggalkan penyesalan di pihak sangat Raja. Pesan moralnya, penting untuk melakukan cek dan ricek sebelum mengambil sebuah keputusan. Betul nda mbak Yuni?

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...