SANG MOTIVATOR SEJATI UNTUK PEMIMPIN KECIL




Anak adalah generasi penerus bangsa.  Ditangannyalah tergenggam sebuah harapan besar demi kemajuan bangsa.  Sebuah pepatah mengatakan "maju mundurnya suatu bangsa terletak pada generasi mudanya."  Oleh karena itu anak-anak harus mendapatkan bimbingan serta arahan yang baik agar tumbuh menjadi generasi muda yang berjiwa pemimpin.

Lantas pemimpin seperti apakah yang diharapkan oleh bangsa kita?  Tak lain adalah seorang pemimpin yang sanggup mengayomi dan merangkul semua lapisan masyarakat tanpa memandang mereka rendah.  Sungguh patut diteladani semboyan yang telah dicanangkan oleh Ki Hajar Dewantoro.  "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani".  Seorang pemimpin harus bisa menjadi teladan bagi bawahannya, yang siang merangkul dan bekerja bersama-sama membangun bangsanya tanpa menganggap adanya jurang pemisah diantara keduanya.




Keluarga adalah lingkungan yang menentukan terbentuknya jiwa sang pemimpin.  Karena dari situlah lahir anak-anak yang siap digembleng dalam kawah candradimuka untuk menjadi pribadi yang tangguh.  Lantas siapakah yang mempunyai andil besar dalam mendidik calon pemimpin itu?  Tak lain adalah "ibu".

Ibu adalah motivator sejati untuk pemimpin kecil.  Berkat didikan ibu, anak jadi tahu tentang banyak hal.  Bahkan bersama ibu pula, karakter dan kepribadian anak itu terbentuk.  Kasih sayang dan perhatiannya yang senantiasa tercurah pada sang anak, membuat hubungan batin antara ibu dan anak terjalin dengan erat.

Namun demikian, tanpa adanya kekompakan dalam keluarga, pola pembentukan sebuah pendidikan anak belum tentu berjalan dengan baik.  Seorang ibu, meskipun disebut sang motivator sejati, ia tidak bisa berjalan sendiri.  Seolah bagai sepasang merpati yang selalu terbang berdampingan, ibu juga memerlukan seorang pendamping.  Dan ayahlah yang mempunyai andil dalam membentuk karakter anak.  Tanpa ayah, tak mungkin ibu bisa menyiapkan seorang pemimpin kecil dengan maksimal.  Meski, dalam tanda kutip, ada beberapa kasus yang membuat ibu berjuang seorang diri, justru dari tangannyalah muncul pemimpin kecil yang siap mengharumkan nama bangsa.

Pemimpin kecil lahir dari sebuah keluarga yang harmonis, dimana ada keselarasan peran ibu dan ayah.  Bahkan antara ayah dan ibu mempunyai tugas yang saling mendukung dan melengkapi untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak.  Entah apa yang terjadi jika keluarga itu tidak harmonis?  Atau tugas pengasuhan anak berjalan tidak seimbang?  Anaklah yang jadi korban.  Beberapa kasus yang terjadi seperti pencurian, pemerkosaan, pembunuhan yang dilakukan oleh anak di bawah umur.  Semuanya pasti dikembalikan pada lingkungan keluarga dimana ia berada.  Sungguh sangat tragis bila hal itu terjadi.

Ibu disebut sang motivator sejati bagi tumbuh kembangnya anak, karena intensitas kedekatan ibu dengan anak jauh lebih banyak dibanding kedekatan ayah dengan anak.  Salah satu faktor yang mempengaruhinya, bahwa ibu adalah wanita yang berjiwa lembut, yang sanggup memberikan teladan kepada anaknya, setiap masalah yang diutarakan sang anak, dengan tulusnya ibu selalu membantu menyelesaikannya.  Sementara ayah, mungkin karena ayah adalah seorang lelaki, jadi meski ada kedekatan dengan sang anak, namun dia lebih terlihat kaku dibanding ibu.

Sayapun merasa demikian.  Kebetulan saya hanyalah ibu rumah tangga dengan satu orang anak laki-laki berusia 8 tahun.  Antara saya dan suami benar-benar menjaga keharmonisan hubungan dalam keluarga,  Meski suami sibuk di kantor, namun sebisa mungkin kami saling melengkapi, masing-masing berperan aktif dalam menyiapkan anak menjadi seorang pemimpin kecil. Namun demikian, saya merasakan kedekatan anak lebih kepada saya ketimbang suami.

Meski keputusan yang saya ambil awalnya terasa berat, namun menjadi ibu rumah tangga adalah tujuan saya untuk menjaga hubungan dengan anak.  Terlebih saya ingin menangani langsung pendidikannya.  Bagi saya, mendampingi anak setiap hari, mengikuti perkembangannya atau bahkan mengajari tentang banyak hal, adalah sebuah kebanggaan tersendiri dalam hidup saya.  

Saya sadar, sebagai ibu rumah tangga, saya masih jauh dari sempurna, bahkan saya masih harus belajar tentang banyak hal.  Namun saya akan terus mengupayakan untuk keberhasilan anak.  Saya ingin anak saya menjadi pribadi yang mandiri dan tidak manja.  Saya tidak pernah memaksanya untuk menjadi sesuatu yang saya inginkan, melainkan kebebasan itu selalu saya berikan padanya, namun dengan satu syarat, dia bebas memilih apa yang diinginkannya, asal harus bisa dipertanggungjawabkan.

Karena suami saya seorang anggota TNI, sudah barang tentu saya harus aktif mengikuti kegiatan didalamnya.  Sejak kecil saya membiasakan anak untuk hidup mandiri.  Setiap kali  menghadiri sebuah acara atau kegiatan, saya harus menitipkan anak kepada tetangga.  Saya dan suami sudah berkomitmen, bahwa dalam rumah tangga kami, tidak ingin ada campur tangan seorang pembantu, supaya kami sama-sama merasakan suka dukanya mengurus anak dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Ternyata apa yang saya lakukan berbuah manis.  Anak saya tumbuh menjadi pribadi yang mandiri.  Saya tidak harus repot-repot membujuk anak supaya mau ditinggal, bahkan ketika ibunya pergi karena sebuah acara, seolah dia sudah tahu dengan sendirinya.

Merawat anak seorang diri, bagi saya jauh lebih menyenangkan.  Karena saya bisa merasakan bagaimana capek dan sibuknya mengurus anak.  Manakala anak tumbuh dengan pesat bahkan semua mata tertegun dengan perkembangan sang anak, justru membuat hati saya tersanjung.  Ternyata saya bisa mengurus dan merawat anak sendiri tanpa pembantu.  Bahkan yang lebih menyenangkan, kedekatan saya dan anak semakin terlihat mesra.

Bangga memang, ketika mellihat apa yang kita tanamkan kepada anak, ternyata dipatuhinya.  Sejak kecil, selain saya ingin melatih anak menjadi pribadi yang mandiri, saya juga menanamkan jiwa disiplin dan taat kepada agama.  Dan ketika anak saya sudah memahami apa yang saya ajarkan, perlahan dia bisa menerapkan semua itu di kehidupannya.

Berawal ketika dia memasuki bangku sekolah, ternyata anak saya sangat disiplin dengan waktu.  Tak pernah sekalipun ia malas pergi ke sekolah.  Setiap hari yang dia inginkan adalah sekolah.  Kalau orang tua lain selalu resah dengan anaknya yang malas sekolah, justru saya yang kelabakan karena dikejar-kejar oleh anak yang ingin diantar lebih awal ke sekolah agar tidak terlambat.

Bukan hanya itu, semenjak saya kenalkan dengan agama, saya ajak ke masjid untuk sholat dan belajar mengaji, sejak saat itu dia mulai rajin.  Dia menganggap belajar mengaji setiap sore adalah kewajibannya, demikian halnya dengan sholat Jum'at, meski baru saja tiba dari sekolah sementara sholat Jum'at itu akan segera dimulai, diapun  bergegas membersihkan badannya dan lari ke masjid.  Semua itu dia lakukan seorang diri, tanpa paksaan dari saya.  Bahkan andai saya mencegahnya, diapun akan marah besar.



Meski anak semata wayang, saya tak pernah memanjakannya. Tidak semua keinginannya saya turuti.  Bahkan saya memberikan pemahaman kepadanya bahwa semua yang diinginkan di dunia ini butuh perjuangan untuk mendapatkannya.  Untuk makan saja, seorang ibu harus memasak, dan untuk memasak harus punya bahan untuk diolah.  Sementara bahan itu bukan datang dengan sendirinya, melainkan harus dibeli.  Dan untuk membelinya butuh uang.  Lalu dari mana uang itu?  Jelas dari hasil kerja.  Sedangkan untuk mendapat pekerjaan, seseorang itu harus pandai.  Apa syaratnya?  Ya, belajar yang rajin....

Agaknya apa yang saya terapkan, bisa diterima anak saya.  Meski saya akui, mendidik anak laki-laki lebih susah ketimbang anak perempuan.  Kadang muncul rasa malas belajar, atau bahkan cenderung menampilkan egonya bahwa pendapatnya-lah yang benar. Namun dengan sedikit trik, akhirnya ego itu luluh juga.  Saya mencoba membimbing belajar anak di rumah.  Menurut saya, mendampingi anak belajar jauh lebih memuaskan ketimbang menyerahkan bimbingan belajar anak kepada sebuah lembaga atau guru privat.  Dengan begitu, saya jadi tahu dimana letak kelemahan anak saya.

Diperlukan sebuah kesabaran dalam membimbing anak seusia anak saya, tidak boleh dipaksakan atau dimarahi.  Karena anak usia 8 tahun, ibarat pisau yang masih tajam.  Ketika sang pengajar mentransfer ilmunya secara perlahan dan memberikan pemahaman yang benar, niscaya anak itu akan cepat menangkap apa yang didapat.  Saya memaklumi banyak orang tua yang memasukkan anaknya ke bimbingan belajar atau memanggil guru privat, itu semata-mata karena orang tua kurang telaten, sementara sang anak merasa bosan atau jenuh dengan suasana yang monoton di rumah.  Nah, untuk menghindari hal itu, saya mengajak teman-teman anak saya untuk belajar bersama di rumah.

Saya mengadakan les privat di rumah tanpa di pungut biaya.  Ini saya lakukan demi anak saya, agar semangat belajarnya terpacu dengan belajar bersama.  Bahkan sesering mungkin saya mengadakan ulangan atau  membuatkan soal latihan, yang metodenya sama persis dengan metode yang diterapkan di lembaga bimbingan.  Al hasil, anak-anak tidak bosan, dan nilai mereka pun bagus.  Hal yang menggembirakan, setiap kenaikan kelas, anak saya selalu mendapatkan peringkat 5 besar.


Sebagai motivator sejati, seorang ibu harus dituntut kreatifitasnya dalam segala hal.  Saya mencoba menjadi ibu yang kreatif, dengan cara menciptakan kreasi makanan untuk anak saya.  Di samping dari segi kualitas gizi memadai, saya ingin menghilangkan kebosanan anak saya terutama dalam hal pemilihan menu makanan.  Dari situlah, setiap menginginkan sebuah makanan, anak saya selalu ingin masakan buatan ibunya.  Bahkan, saya sempat dibuatnya kelabakan, ketika ulang tahunnya yang ke delapan.  Dia ingin ulang tahunnya dirayakan.  Namun karena tradisi keluarga kami yang tidak pernah merayakan ulang tahun, bahkan sampai mengundang banyak orang ke rumah, akhirnya saya memberikan sebuah pengertian kepada anak saya.

Merayakan pesta ulang tahun itu adalah hal yang hura-hura.  Apalagi sampai mengundang teman ke rumah, itu akan merepotkan orang tuanya untuk membelikan kado.  Alangkah baiknya ketika berulang tahun, kita mensyukuri bertambahnya umur dengan memberikan sedekah.  Dan pemahaman itu berakhir pada sebuah perjanjian, bahwa saya harus membuatkan nasi kuning lengkap dengan snack dan diantar ke rumah teman-teman anak saya tepat di hari ulang tahunnya.  Demi membahagiakannya, akhirnya saya turutilah permintaannya.

Dalam hal pemilihan ketrampilan di sekolah, saya juga harus bisa membantu anak saya untuk membuatkan sebuah ketrampilan yang mudah dipahaminya.  Kadang kita beranggapan bahwa anak jaman dulu lebih kreatif ketimbang anak jaman sekarang.  Kalau dulu seorang anak disuruh membuat ketrampilan, dengan tanggapnya ia langsung memikirkan ketrampilan apa yang sekiranya mudah untuk dibuat.  Lantas ia pun segera mempraktekkannya.  Tetapi sekarang, seolah orang tuanya-lah yang terjun langsung menyelesaikan ketrampilan untuk anak.  Sekali lagi masa anak dulu dengan anak sekarang jelas jauh berbeda.  Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, diantaranya kemajuan teknologi dan materi pelajaran yang diajarkan di sekolah.  Namun, sebagai orang tua, hendaknya kita harus pandai-pandai menyikapi hal itu.  Meski terasa sulit, dengan pemahaman yang sedikit demi sedikit, saya yakin anak akan mandiri dengan sendirinya.

Saya juga mengajarkan bagaimana kita bersikap kepada orang lain.  Hal yang lebih baik kita lakukan adalah menolong orang yang membutuhkan bantuan.  Lebih baik kita memberi daripada menerima.  Inilah yang akhirnya membuat anak saya lebih suka memberikan sedekah di masjid dan kotak amal yang terdapat di toko-toko.  Bahkan melihat pengemis yang memprihatinkan keadaannya, ia buru-buru minta uang untuk diberikannya kepada pengemis itu.

Ternyata anak saya pandai bergaul.  Di mata teman-temannya dia termasuk anak yang baik.  Kepada siapapun ia tak segan untuk bergaul.  Dengan penjual bakso, es degan atau penjual lainnya, dia terlihat sangat akrab.  Bahkan ketika melihat seorang penjual yang sepi pembeli, ia merasa iba.  Suatu malam, ketika dilihatnya seorang penjual putu yang belum laku dagangannya, ia buru-buru memanggilnya, berniat membelinya.  Hal ini dilakukannya semata-mata karena ia iba pada penjual itu.
Itulah cara saya mendidik anak.  Saya memang berupaya menyiapkan masa depan anak agar menjadi seorang pemimpin kecil yang berkarakter.  Setiap hari saya selalu memotivasinya agar menjadi pribadi yang lebih baik.  Tak lupa dalam setiap doa yang saya panjatkan terselip sebuah harapan akan kesuksesan anak saya.  Semoga anak saya tumbuh menjadi seorang pemimpin yang berjiwa besar.  Amin.......


Artikel ini diikutsertakan dalam Lomba Penulisan Blog "Peran Ibu Untuk Si Pemimpin Kecil", yang diadakan oleh Nutrisi Untuk Bangsa

Posting Komentar

4 Komentar

  1. mengajarkan anak bertanggung jawab dan mandiri bukanlah perkara mudah. Apalagi mengajarkan berempati dan bersikap baik kepada orang lain. Selamat Bunda memiliki putraa yang bisa dibanggakan. Semoga menang ya dalam kontes ini :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas saya lagi mengupayakan agar anak saya bisa menjadi pribadi yang baik, meski kadang terasa berat, karena apa yang saya rencanakan tidak sesuai kenyataan. Mengarahkan anak lelaki memang tidak semudah membimbing anak perempuan, tapi sebagai ibu saya memang harus berusaha agar nantinya anak saya tidak salah arah.
      Terima masih ya mas Belalang Cerewet.....

      Hapus
  2. ditambah didikan suami ibu sebagai tentara, saya yakin putranya sangat disiplin.
    Saya jadi kpngen anak saya jbercita-cita menjadi Kowal bu ^_^

    Salam dari sidoarjo

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...