TULISANKU DI MAJALAH KARTINI


Majalah Kartini menerima tulisan pembaca pada rubrik "Setetes Embun".  Syarat-syaratnya: tulisan berupa kisah inspirasi kehidupan, panjang tulisan kurang lebih 500 kata.  Kirimkan tulisan melalui email redaksi_kartini@yahoo.com.

Inilah tulisan saya yang pernah di muat di rubrik Setetes Embun majalah Kartini.







PENGORBANAN IBU DEMI SI BUAH HATI
 
Meski ayahku telah tiada, namun sedikitpun tak terbersit dalam benak ibuku untuk menikah lagi. Bahkan tekadnya sudah bulat untuk membesarkan kedua anaknya dengan menjadi single parent. Sepeninggal ayahku yang notabene seorang pensiunan perwira polisi otomatis segalanya berubah drastis, termasuk keadaan ekonomi kami. Apalagi ibuku hanya seorang ibu rumah tangga, sementara kedua anaknya kian menganjak dewasa yang sudah tentu membutuhkan banyak biaya.
 


Waktu ayahku meninggal aku baru kelas 1 SMA sedang adikku masih kelas 1 SMP. Saat itu kami belum merasakan apa-apa. Semuanya masih berjalan lancar. Mulai dari kebutuhan sekolah sampai kebutuhan lainnya masih dapat terpenuhi. Bahkan tetanggaku bilang kami adalah keluarga yang berkecukupan. Ibukupun berusaha memanage gaji pensiunan almarhum ayah dengan baik, hingga kebutuhan kami dapat terpenuhi meskipun ya...cuma pas-pasan. Aku bangga melihat ibu demikian gigih dan ulet menghidupi keluarganya seorang diri hanya mengandalkan gaji pensiunan almarhum ayah. Apapun ia lakukan asal kedua anaknya bahagia. Bahkan ibuku bisa membelikan aku sebuah sepeda motor dari uang tabungan yang dikumpulkan bertahun-tahun. Rasanya aku semakin kagum pada ibuku.
 

Hari demi hari telah kulalui, tak terasa aku sudah memasuki bangku kuliah. Kebetulan nilai nemku bagus dan aku ditrima di universitas negeri yang tempatnya di luar kota. Kuputuskan untuk kost dan sebulan sekali baru pulang, demi menghemat uang transport. Tahun pertama aku memasuki bangku kuliah segalanya masih berjalan seperti biasanya. Setiap bulan aku masih mendapat jatah uang bulanan dari ibuku meskipun jumlahnya tidak seberapa, namun aku masih bisa mencukupi kebutuhanku. Bahkan aku masih sempat menyisihkan sedikit untuk tabunganku, itung-itung buat beli buku atau sewa komputer di rental. Hal yang kutakutkan ternyata terjadi juga. Saat itu aku baru naik tingkat dua. Ibuku sudah tidak sanggup lagi membiayaiku kuliah. Bukan karena gaji pensiunan almarhum ayahku yang tidak cukup untuk membiayai pendidikan kami, melainkan karena ibuku ditipu saudaranya. Ibuku suka merasa iba pada orang yang kesusahan, apalagi pada saudaranya sendiri. 

Awalnya saudara ibuku minta tolong supaya dipinjami uang untuk membangun rumahnya yang hampir roboh dan ia janji akan mengembalikannya dalam waktu dekat, sekembalinya dari negeri jiran jadi TKW. Sebenarnya ibuku merasa berat mau meminjamkan karena uang itu untuk tabungan pendidikan anak-anaknya, tapi demi saudaranya dan rasa belas kasihan ia relakan uang itu untuk membangun rumah. Sampai rumah yang dibangun ibuku berdiri dan saudaranya sudah kembali dari negeri jiran, janji tinggal janji. Setiap ibuku minta uangnya, saudaranya selalu bilang ”sudah relakan saja uangmu, itung-itung membantu saudara kesusahan kan dapat pahala...”. Mendengar penuturan ibuku, rasanya dada kian bergemuruh, tak tahu harus bilang apa. Sempat terbersit tanya dalam benakku..apakah aku harus keluar dari bangku kuliah?
 

Ternyata ibuku mempunyai prinsip dan tekad yang bulat, seburuk apapun keadaan ekonominya namun ia tidak rela kalau anak-anaknya putus sekolah, mereka harus maju dan menjadi orang berhasil. Kamipun memulai lembaran baru lagi dari bawah. Ibuku membuka warung kecil-kecilan dan menjadi agen minyak tanah, yang modalnya didapat dari hasil penjualan sepeda motor. Sementara aku menjadi tenaga pengetik di sebuah rental dan menjadi instruktur komputer di sebuah lembaga pendidikan. Dari hasil itulah akhirnya aku bisa melanjutkan kuliahku.
 

Saat aku memasuki tahun terakhir perkuliahan, adikku juga ditrima di universitas dan jurusan yang sama dengan aku. Otomatis ibuku harus memutar otak lagi untuk menambah penghasilan. Bayangkan, seorang ibu rumah tangga dengan gaji pensiunan, sementara kedua anaknya sudah memasuki bangku kuliah. Apakah cukup gajinya untuk memenuhi kebutuhannya tanpa dibantu dengan penghasilan tambahan? Akhirnya kami bertiga pun berunding, usaha apa lagi yang harus kami lakukan agar kami bisa hidup dan menyelesaikan kuliah? Kuputuskan untuk melanjutkan profesiku sebagai tenaga pengetik dan instruktur komputer. 

Sementara ibuku menambah ruang usahanya. Dari usaha warung, agen minyak tanah ditambah jual beli sepeda, mengantar pesanan kue kering sampai terima kost di rumah. Nyaris ibuku seperti pegawai kantoran yang sering keluar rumah. Semua itu dilakukannya demi anak-anaknya. Dari hasil itulah kami bisa menerima jatah bulanan. Tapi aku merasa kasihan melihat ibuku yang tanpa kenal lelah menjalankan usahanya seorang diri, terikpun tak dihiraukan demi membiayai kuliah anaknya.
 

Setamat dari bangku kuliah aku mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan. Tadinya aku beranggapan dengan bekerja aku bisa membiayai kuliah adikku, ternyata anggapanku berbelok seratus delapan puluh derajat. Gajiku kecil, untuk membiayai kehidupanku sendiri saja pas-pasan apalagi membantu adikku. Aku hanya bisa menahan nafas. Untuk keluar dari perusahaan tempatku bekerja rasanya tidak mungkin, karena sekarang jumlah pencari kerja lebih besar dari lowongan yang ada, bisa-bisa malah aku jadi pengangguran. 

Lagi-lagi adikku kembali meminta bantuan ibuku. Yang namanya usaha belum tentu selamanya berjalan mulus, ada kalanya lancar bahkan bisa juga surut, seperti pasang surutnya kehidupan. Saat adikku memasuki pertengahan kuliahnya usaha ibuku mengalami kemunduran, usaha warung dan minyak tanah sudah banyak saingan, usaha jual beli sepeda juga sudah tidak laku. Tinggal usaha terima kost yang masih berjalan, tapi tidak seramai dulu. Akhirnya diputuskannya untuk menjual sebidang tanah pekarangan di belakang rumah. Dari hasil penjualan tanah itulah akhirnya adikku dapat melanjutkan kuliah sampai selesai.
 

Sungguh besar pengorbanan ibuku, beliau selalu berusaha membuat kami senang dan gembira. Masih segar dalam ingatan ini, saat aku harus berangkat ke tempat kerja jam 02.30 WIB (tempat kerjaku 4 jam dari rumah dan harus kutempuh dengan bus, sementara aku masuk jam 07.30 WIB), dengan rela ibuku bangun pagi-pagi mengantarkanku ke jalan raya sampai aku mendapatkan bus dan berangkat ke tempat tujuan. Itupun ditempuhnya dengan jalan kaki, kemudian kembali lagi berangkat jam 04.00 WIB untuk mengantarkan adikku ke stasiun, karena dia akan berangkat kuliah. Pekerjaan itu dilakukannya selama kurang lebih empat tahun sampai aku berhenti bekerja karena menikah.
 

Saat aku menikahpun ibuku masih bisa membiayai resepsi pernikahanku dari hasil penjualan tanah pekarangan. Itulah yang kadang membuat tetanggaku menganggap kami sebagai keluarga yang serba kecukupan. Ibuku seorang yang bijaksana, sedikitpun tidak pernah menceritakan permasalahan keluarga kepada orang lain, kamilah anak-anaknya yang selalu diajak berunding.
 

Sekarang aku sudah mempunyai keluarga sendiri, tinggal di luar pulau demi mengikuti suami. Sudah empat tahun aku tidak pulang kampung, bukan berarti aku sudah lupa pada kampung halaman dan ibuku, tetapi biaya tiket yang teramat mahal dan peraturan di tempat kerja suamiku yang sangat ketat, yang tidak membolehkan aku pulang kampung dengan seenaknya. Telepon lah yang menjadi sarana satu-satunya komunikasiku dengan ibu, padahal aku ingin sekali bertemu dengan ibu dan mendekap erat tubuhnya. Sesekali aku menangis merindukan saat-saat kebersamaan bersama ibuku yang entah kapan bisa kulewati. 

Bagiku ibu adalah sosok yang bisa diteladani. Darinya aku bisa memetik sebuah pelajaran bahwa kita sebagai anak harus selalu berbakti kepada orang tua, karena bagaimanapun keadaan orang tua, ia/mereka pasti akan berusaha sekuat tenaga demi kebahagiaan anak-anaknya meski harus mengorbankan jiwa dan raganya. Sungguh berdosa bagi anak-anak yang selalu menyia-nyiakan ibunya. Dan sosok ibulah yang memberiku inspirasi bahwa sebesar apapun penghasilan yang kita terima kalau tidak dimanage dengan baik, keutuhan dan kebahagian keluarga tidak akan tercapai. Karena itu tidak mudah menjadi seorang ibu yang bisa menjadi teladan bagi anak-anaknya. 

Ibu....aku bangga padamu...kerja keras dan usahamu akan kucontoh untuk kehidupanku kelak. Aku hanya bisa berdoa semoga ibu senantiasa diberi kesehatan, umur yang panjang dan kebahagiaan. Maafkan anakmu bila sampai saat ini belum bisa membalas jasa-jasamu...........

Posting Komentar

6 Komentar

  1. wah mbak. salut ih banyak tulisannya yg sudah masuk ke media cetak nasional begitu. :')

    BalasHapus
  2. hihihi malu ah mbak Rin...ini saya juga masih coba-coba...e...lha kok di muat jadi ketagihan pengen bikin lagi.....ayo mbak Rin coba-coba cari peruntungan hehehe

    BalasHapus
  3. Tulisannya bikin haru, Mbak... Ira

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe.....hidup kadang tak sesuai harapan, untuk itulah hidup harus diperjuangkan...dan itulah perjuangan hidup ibu saya mbak....terima kasih sdh mampir di blog saya

      Hapus
  4. Mbak Yuni sudah keren sejak dulu.
    Saya suka membaca rubrik setetes embun ini, Mbak.
    kebetulan dulu, Ibu saya suka beli.

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...