Aku Dan NMax Kesayangan, Kenangan Perjalanan Tak Terlupakan

Mengendarai “moge” alias motor gede menjadi mimpiku sejak dulu. Terlebih ketika melihat sepasang suami istri yang mengendarai mogenya di sekitaran hutan Baluran, Situbondo, membuat hasratku makin menggebu. “Aku ingin seperti mereka.”
aku dan nmax kesayangan


Tapi aku sadar, aku bukanlah seorang berduit yang bisa membeli moge untuk mewujudkan mimpi itu. Bisa menikmati hidup ala kadarnya saja sudah lebih dari cukup. Bersyukurnya aku memiliki suami yang hobinya naik motor. Kemana-mana ia lebih nyaman naik motor ketimbang naik mobil. Memang senyatanya ia tidak bisa nyetir dan tidak pernah punya niat untuk memiliki mobil.

Ceritaku Memiliki “Moge” Pertama Kalinya

Kami pun akhirnya menebus sebuah motor berkapasitas 155 cc yang sudah hampir setahun tidak dibayar angsurannya. Motor itu milik teman suami yang sengaja dititipkan di rumah, dan sering dipakai suami mondar mandir.

moge pertama yang kami miliki


Ceritanya ketika kami bertiga (aku, suami dan anakku) sedang melintas di sebuah jalan di kota Denpasar, tiba-tiba diberhentikan oleh seorang bertato dengan wajah dekil dan rambut kusam tak terurus. Akupun takut melihat tampangnya yang serem. Ternyata ia adalah sang
dept collector sebuah leasing yang sudah berbulan-bulan mencari keberadaan motor yang kami tunggangi.

Usut punya usut motor ini diambil teman suami melalui sebuah leasing yang hampir setahun tidak dibayar angsurannya. Sementara si empunya pergi entah kemana. Ia memang seorang pebisnis di bidang bangunan yang belakangan bermasalah. Bisnisnya diambang kebangkrutan. Hutangnya banyak, termasuk kepada suami. Bahkan para pekerjanya juga belum digaji. Beberapa kendaraan yang dimilikinya juga bermasalah. Angsurannya nunggak, bahkan sebagian sudah disita. Termasuk motor yang kami tunggangi ini.

Begitu sayangnya suami dengan motor ini, akhirnya ia bernegosiasi dengan sang dept collector untuk diselesaikan di rumah. Ternyata sang dept collector pun menyetujui. Beberapa hari kemudian pihak leasing datang ke rumah dan menjelaskan prosedur pembayaran motor. Akhirnya sesuai kesepakatan bersama, suami pun bersedia melunasi pembayaran motor sehingga kepemilikan motor pun bisa dipindahtangankan.

Betapa bahagianya kami ketika motor berkapasitas 150 cc, yang kami sebut sebagai “moge” ini resmi menjadi milik kami. Artinya kami bisa leluasa pergi kemanapun tanpa gangguan dept collector yang menghentikan perjalanan kami secara tiba-tiba. Termasuk perjalanan perdana kami dari Bali ke Blitar dengan mengendarai motor ini.

Suami Yang Berpindah-pindah Tugas

Suamiku seorang abdi negara yang tugasnya berpindah-pindah. Meski kami sama-sama asli Blitar, namun ia tidak pernah berdinas di pulau Jawa.  Dinas pertamanya di Jayapura – Papua. Bahkan, anakku lahir di Jayapura. Itulah mengapa anakku seringkali marah ketika mendapati rambutnya yang ikal, berbeda dengan rambut kedua orang tuanya yang lurus.

mengikuti suami berpindah-pindah tugas


Sambil bergurau, ia sering berkelakar menyalahkan aku yang melahirkannya di Jayapura hehehe…. Andai saja ia lahir di Jawa, pasti rambutnya akan lurus dan mudah diatur. Namun senyatanya, kami sangat menikmati setiap perjalanan. Papua sangatlah indah. Bahkan kenangan ketika berada disana sulit untuk dilupakan.

Sepuluh tahun menetap di Papua, akhirnya suami berpindah tugas ke Denpasar – Bali.  Dan kami selalu mengikuti kemanapun suami berdinas. Sedangkan anak semata wayang kami, terpaksa harus beberapa kali pindah sekolah. Namun hal ini tak membuatnya berkecil hati. Bahkan ia lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan baru.

Pertama Kalinya Melakukan Perjalanan Jauh Dengan Motor

Tahun pertama di Bali, rasa takut itu sempat membuncah, terutama saat menjelang hari raya Nyepi. Khabarnya saat Nyepi tiba, warga pendatang harus menghormati adat Bali. Listrik harus dimatikan saat malam tiba. Pertokoan dan pusat perbelanjaan semuanya tutup. Bahkan warga tidak diperbolehkan keluar rumah. Mereka harus berada didalam rumah 1 x 24 jam dengan kondisi listrik mati saat malam tiba. Hanya pecalang saja yang berada di luar rumah untuk berjaga-jaga.

Rasa ketakutan semacam inilah yang membuat kami nekat pulang ke Blitar dengan mengendarai “moge” kami. Sungguh, ini menjadi pengalaman pertama kami. Mengendarai motor dengan jarak yang sangat jauh dari Bali ke Blitar. Beberapa kali harus melewati hutan yang sepi, terjebak di kesunyian malam atau bahkan terpaksa harus menahan hawa dingin atau derasnya air hujan yang turun tiba-tiba.

naik motor dari Bali ke Blitar


Sementara, anak yang kami ajak masih tujuh tahun umurnya. Belum pernah merasakan perjalanan jauh, terlebih berjam-jam berada diatas motor. Bersyukurnya ia tidak pernah mengeluh selama di perjalanan, karena aku sudah menyiapkan bekal makanan yang cukup, bahkan baju ganti atau jas hujan juga kubawa serta.

Justru orang tua kami lah yang merasa iba. Ketika melihat kami datang dengan wajah dekil, motor yang penuh lumpur disana-sini atau saat mendapati tangan anak kami terasa dingin saat di pegang, disitulah beliau sering menasehati kami untuk tidak membawa serta anak saat melakukan perjalanan jauh dengan mengendarai motor.

Namun hanya motorlah yang kami punya. Sedangkan kami sangat menikmati perjalanan ini. Bahkan anak kami sedikit pun tak pernah mengeluh. Justru ia ketagihan untuk kembali melakukan perjalanan jauh ini. Setelah menjelaskan ke orang tua kami, dan beliau merestui perjalanan kami, kami pun kembali melakukan perjalanan dari Blitar ke Denpasar setelah Nyepi berlalu.

Ketagihan Naik Motor Saat PerJalanan Jauh

Meski jarak Blitar – Bali lumayan jauh dan melelahkan bila ditempuh dengan motor, nyatanya tak membuat kami capek. Bahkan setelah perjalanan pun kami kembali beraktifitas seperti semula. Suami pergi ke kantor, sementara aku menikmati peran sebagai istri dan ibu rumah tangga sembari mengantarkan anak sekolah.

ketagihan naik motor saat perjalanan jauh


Dan mimpi untuk mengendarai “moge” rupanya sulit untuk dihapus dari ingatan. Aku sempat mengutarakan niatku kepada suami, dan ia mengabulkannya. Ia berjanji akan mengumpulkan uang lalu membelikanku sebuah motor yang aku sebut sebagai “moge”.

Benar saja, di tahun 2015 suami berniat membelikanku sebuah motor dengan kapasitas 155 cc dari hasil tabungannya. Aku ingin seperti sepasang penunggang “Harley” yang pernah aku lihat kala itu. Meski bukan “moge” sesungguhnya, tetapi bisa mengendari motor berkapasitas 155 cc dan beriringan dengan suami rasanya bahagia banget. Akhirnya kami memutuskan membeli Yamaha NMax 155 cc ABS di Denpasar. Kala itu motor sekelas Yamaha NMax termasuk motor dengan bodi besar dan masih langka di Denpasar. Keluaran pertama menggunakan sistem ABS dengan warna merah.

Aku Dan Motor Yamaha NMax

Setelah memiliki dua buah motor berkapasitas 155 cc, kami pun berniat touring Denpasar – Bali, demikian sebaliknya, karena sesungguhnya aku ingin mengemudikan motor, bukan duduk di belakang alias dibonceng suami.

Dan ketika suatu hari kami hampir saja menjalankan misi ini, tiba-tiba anakku demam tinggi. Sudah kubawa ke dokter dan minum sejumlah obat, demamnya tidak juga turun. Apakah ini artinya aku tidak dibolehkan mengemudikan sendiri motor baruku?

aku dan motor yamaha nmax


Ah…rasa penasaran itu terus ada di benakku, sampai akhirnya trauma itu menghantuiku. Aku terjatuh dari motor gara-gara kakiku tidak bisa menahan motor yang berat. Bersyukur bapak satpam di sekolah anakku segera menolongku. Meski beberapa bodi motor lecet, namun aku tidak sampai tertabrak motor yang kaget melihatku jatuh didepannya.

Belum hilang rasa sedihku melihat motor baru yang sedikit lecet, tiba-tiba aku melihat kenyataan bahwa jok motor itu juga dicakar kucing. Beberapa bagian jok motor tampak bekas cakaran kaki kucing yang sangat mengganggu penglihatan. Tapi sudahlah, tak perlu disesali karena semuanya sudah terjadi.

Justru yang membuatku bahagia ketika libur tiba dan suami mengajakku kembali melakukan perjalanan bertiga dari Bali ke Blitar. Ia ingin mencoba kecanggihan Yamaha Nmax 155 cc ABS ini. Sehabis shubuh kami berangkat dari rumah menyusuri jalanan yang masih agak gelap. Kurang lebih empat jam kami sampai di pelabungan Gilimanuk. Bersyukur cuaca bersahabat dan ombak pun terlihat tenang, sehingga penyeberangan kami ke Ketapang pun lancar.

Kami memang tidak pernah memaksakan sebuah perjalanan. Terlebih mengajak serta anak. Ketika si anak merengek minta sesuatu, seperti makan bakso atau mie ayam, kami pun berusaha menurutinya. Jadi tidak bisa dipatok berapa jam kami harus sampai ke Blitar, demikian sebaliknya.

Yang sering kami lakukan adalah singgah di Situbondo, di rumah teman yang sudah kami anggap seperti saudara. Atau singgah di SPBU untuk melaksanakan sholat sambil istirahat sebentar sembari menghilangkan penat selama perjalanan.

Dan kalau ditanya jam berapa kami sampai Blitar? Tentu jawabnya tidak pasti. Kadang jam sepuluh malam sudah sampai Blitar, kadang pula jam dua belas malam baru sampai Blitar. Semua itu tergantung cuaca. Semakin bersahabat cuacanya, semakin cepat kami sampai di rumah.

Tentang Cerita Menyeramkan Selama Perjalanan

Barangkali banyak yang bertanya, apa tidak takut melakukan perjalanan jauh, terlebih saat melewati hutan yang sepi. Seperti begal yang tiba-tiba menghadang di jalan atau kejadian mistis di malam hari?

Untuk melakukan perjalanan jauh ini, kami selalu antisipasi. Biasanya ini terjadi saat kami harus kembali ke Bali. Ketika cuaca tidak bersahabat di malam hari, kami selalu mencari alternatif terbaik, seperti mencari penginapan murah atau menghubungi kerabat untuk menginap di rumahnya semalam.

Kami pernah beberapa kali terjebak hujan di jalan, sementara malam telah merayap. Sadar membawa anak kecil, maka kami mencari tumpangan untuk menginap semalam, seperti di rumah saudara yang terletak di Probolinggo atau mencari penginapan murah di sekitaran Paiton.

Demikian juga ketika kami kemalaman di jalan, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari, sementara kami masih sampai di Paiton yang jaraknya sangat jauh menuju penyeberangan. Kami pun mencari penginapan murah di sepanjang perjalanan, karena yang kami khawatirkan ketika melintasi hutan Baluran atau hutan setelah daerah Situbondo ada hal-hal yang mengganggu kami. Baru pada keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Bali.

Yang lebih menakutkan ketika terjadi kecelakaan saat perjalanan kami. Peristiwa ini pernah kami alami ketika kami sampai di daerah Tongas – Probolinggo. Saat itu kami memang terlambat memulai perjalanan, hingga menjelang maghrib baru sampai Tongas. Kami mencari masjid di tepi jalan untuk menunaikan sholat maghrib. Namun tampak dari kejauhan terjadi kemacetan sangat panjang.

Berharap sembari berhenti di masjid dan melaksanakan sholat maghrib kemacetan itu akan berakhir, rupanya kendaraan itu tak juga bergerak sampai kami keluar masjid. Usut punya usut, ternyata baru saja terjadi kecelakaan yang melibatkan truk fuso, mobil pick up dan mobil panther. Sementara mobil pick up itu mengangkut sejumlah ibu-ibu pengajian yang ternyata kelebihan muatan.

Mobil pick up itu menabrak truk fuso, sementara dibelakangnya ada mobil panther. Kecelakaan hebat itu tak bisa dihindari. Menurut khabar yang beredar hampir semua penumpang mobil pick up meninggal. Aku pun merasakan hawa mistis saat melintasi jalan itu. Meski kendaraan besar masih mengalami kemacetan, tapi motor yang kami tunggangi bisa berjalan melewati tepi jalan yang agak lengang.

Lalu aku melihat kendaraan yang baru mengalami kecelakaan dikumpulkan di tepi jalan dalam keadaan ringsek parah. Bahkan aku juga melihat ceceran darah korban di tepi jalan, atau sandal-sandal yang berserakan. Sungguh aku merinding dibuatnya. Sementara laju kendaraan kami tidak bisa kencang karena terhalang oleh petugas yang masih membereskan sisa-sisa kecelakaan. Sambil merapalkan doa-doa, aku terus berdzikir sepanjang perjalanan, supaya kami semua diberikan keselamatan dan kelancaran.

Sampai di perbatasan Paiton, rupanya hari telah larut. Suasana sangat sepi. Hanya derit roda truk pengangkut barang yang terdengar. Nyaliku kembali ciut saat membayangkan sesuatu yang menyeramkan ketika melewati hutan. Lalu aku pun mengajak suami untuk mencari penginapan. Hari itu memang tidak seperti biasanya. Hotel-hotel di tepi jalan biasanya masih buka dan menerima pelanggan di malam hari. Namun malam itu kebanyakan hotel atau penginapan yang kami datangi tutup.

mencari penginapan karena kemalaman di jalan


Bersyukur masih ada “Paiton Resort Hotel” yang masih buka dan bersedia menerima kami untuk bermalam sembari menunggu pagi datang. Artinya kami bisa rebahan semalam, terhindar dari hal-hal menakutkan di perjalanan dan bisa kembali melakukan perjalanan keesokan harinya dengan nyaman.

Cerita Mistis Yang Dialami Suami

Lain lagi dengan cerita suami yang melakukan perjalanan seorang diri. Kala itu aku dan anakku sudah lebih dulu pulang ke Blitar. Kami naik kendaraan umum, karena suami masih belum mendapatkan cuti. Baru di hari Jumat malam, ia pulang ke Blitar dengan mengendarai motor NMax-nya. Seperti biasa kalau ia memulai perjalanan di malam hari, maka sampai di Blitar keesokan harinya.

Berhubung seorang diri, ia bisa mempercepat laju motornya. Sesampai di kabupaten Blitar, tepatnya di daerah Nglegok, ia melewati hamparan sawah yang minim penerangan. Namun ada sebuah tempat yang membuatnya tertarik untuk berhenti. Ia melihat warung sate yang sangat ramai pembeli. Aroma bumbu sate itu juga menyebar kemana-mana, membuat rasa lapar itu membuncah. Ia hentikan laju motornya agak jauh dari warung, berniat mampir sebentar membeli seporsi sate ayam.

Namun ketika dilihatnya jarum jam di tangannya masih menunjukkan jam tiga dini hari, maka ia urungkan niatnya, dan kembali melanjutkan perjalanan pulang. Begitu sampai rumah sekitar jam lima pagi, ia pun menceritakan warung sate itu dan berniat mengajakku kembali ke tempat itu untuk sekedar icip-icip rasa sate ayam yang aromanya harum dan gurih.

Dengan mengajak serta anak, kami pun berangkat bertiga dengan mengendarai motor NMax. Bahkan sepanjang jalan pun aku sempat membayangkan bakal kenyang makan seporsi nasi ditambah sate ayam dan teh manis. Namun alangkah mencengangkan ketika kami sampai di tempat yang diceritakan suami.

“Beneran disini tadi tempatnya!” Aku melihat dengan mataku sendiri, ada sebuah warung di tepi sawah, banyak pembeli, penjualnya seorang wanita sedang mengipas-ngipas sate pesanan pembeli. Aromanya tercium kemana-mana, sampai aku berhenti. Tapi melihat jam masih dini hari, akhirnya gak jadi beli, kata suami dengan wajah keheranan.

Namun kenyataannya yang kami lihat adalah hamparan tanah kering bekas ditanami padi, dan tidak ada tanda-tanda berdiri warung di tempat itu. Kalau pun ada warung sate, setidaknya ada bangunan meski tidak permanen, atau minimal gerobak sate yang ada di tempat itu.

cerita mistis suami selama perjalanan


Bulu kuduk ku pun kembali merinding. Aku membayangkan seandainya suami jadi beli sate ayam, entah seperti apa nasibnya, atau jangan-jangan yang dimakan bukan sate ayam…naudzubillah. Kembali aku berdzikir sambil mengucap syukur bahwa suamiku masih dilindungi Allah. Dan kami pun akhirnya meninggalkan tempat itu dengan rasa penasaran yang belum ada jawabnya.

Cerita Tentang NMax

Kalau boleh dibilang, motor NMax ku ini sarat dengan cerita. Meski termasuk Old Series, aku selalu nyaman dibuatnya. Ia bahkan pernah dijadikan kendaraan pengambil barang pelanggan ketika aku mendirikan agen sebuah ekspedisi. Kurang lebih selama setahun, ia harus sat set mengambil atau mengantar barang pelanggan. Perjalanan yang ia tempuh terbilang jauh. Ia juga membantuku mendapatkan rezeki disela-sela waktu senggangku.

Meski pada akhirnya aku menutup keagenan ekspedisi karena sistem bagi hasil yang kurasakan kurang sesuai, namun nyatanya motor kesayanganku ini selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Saking sayangnya dengan motor ini, aku tak pernah berniat untuk menjualnya.

Sampai dengan detik ini, sudah hampir sembilan tahun motor NMax merah 155 cc ABS ini menemaniku. Aku selalu merawatnya rutin, servis berkala sesuai ketentuan, bahkan mengganti bagian-bagian yang sudah rusak, termasuk mengganti ban yang sudah tipis.

Cerita NMax memang tak akan pernah berakhir. Kini, ketika aku sudah meninggalkan Bali, perjalanan NMax berpindah rute. Apalagi semenjak anakku lulus sekolah dan melanjutkan kuliah di Malang, ia pun lebih sering melewati jalanan antara Blitar dan Malang. Terlebih anakku besar di Bali, membuatnya belum hafal jalanan antara Blitar - Malang. Dan aku lebih sering menemaninya selama perjalanan.

ceritaku bersama nmax


Masih jelas teringat saat anakku akan menjalani hari-harinya di Malang. Aku terpaksa menemaninya membawa motor dari Blitar ke Malang. Dengan membawa barang-barang banyak, anakku mengemudikan motor NMax itu dengan sat set. Kadang nelangsa itu bergelanyut manakala hujan turun dengan tiba-tiba. Kami bahkan pernah basah kuyup karena jas hujan kami untuk melindungi barang-barang bawaan kami.

Meski motor NMax milikku termasuk old series namun nyatanya masih nyaman dikendarai. Jarak jauh pun aman. Bahkan dari segi body juga tidak ketinggalan jaman. Inilah alasan mengapa aku menjadikan motor NMax 155 cc ABS kesayanganku ini akan menjadi milikku selamanya.  Terlebih warna body-nya yang merah membuatnya tampil elegant.

Sesungguhnya ceritaku tentang NMax akan selalu menjadi kenangan tak terlupa sepanjang hidupku. Suka duka yang kualami di setiap perjalanan hidupku, setidaknya motor NMax-ku ini memiliki andil besar. Dan akan selalu menjadi kenangan termanis dalam hidupku!

 

 

Posting Komentar

0 Komentar