Satu Unit Televisi Sebagai Hadiah Untuk Yang Tersayang

Ibu adalah orang yang sangat berjasa dalam hidup saya. Perjuangannya yang tak kenal lelah dan putus asa mampu mengantarkan saya berdiri tegak hingga saat ini. Bahkan berkat ibu pula, saya bisa bertemu dengan lelaki yang kini menjadi pendamping hidup saya. Dialah inspirasi saya, penyemangat hidup saya, yang mengajari saya arti hidup sesungguhnya.

inspirasi hidup saya

Hmm…bukan sebuah kebetulan, ayah yang sudah puluhan tahun dipanggil Allah, sudah pasti menyisakan kepedihan dalam hati saya. Saya yang masih belasan tahun kala itu, terpaksa harus menutup lembaran cerita bahagia bersama ayah, karena Allah lebih sayang ayah ketimbang membiarkannya berlama-lama di dunia ini. Namun, tak seorang pun tahu akan rahasia Allah. Termasuk jodoh sekalipun. Dan tak ada yang bakal menyangka bahwa sosok lelaki yang menjadi pendamping hidup saya mirip almarhum ayah.

Entahlah…..nalar manusia pun tak akan mengerti kehendak-Nya. Bahkan, saya pun ikut terharu manakala adik perempuan almarhum ayah terus memandangi lelaki disamping saya, sambil berucap sesuatu. Sorot matanya pun menerawang jauh mengingat kenangan semasa hidup ayah, yang mungkin sangat berkesan.

“Aku rindu bapakmu.”

Kalimat terakhir yang diucapkan bibi benar-benar membuat suasana jadi hening. Bibi tak bisa lagi menahan air matanya. Seketika itu kami terbawa dalam keharuan masing-masing. Bahkan, lelaki disamping saya ikut tertunduk meski tak tahu kenangan apa yang pernah terjadi dengan almarhum ayah, hingga benar-benar menyisakan kerinduan yang mendalam.

Yah…mungkin inilah yang saya sebut sebagai mukjizat. Ketika Allah merampas kebahagiaan saya dengan mengambil ayah, ternyata Dia mengembalikan kebahagiaan itu dengan menyodorkan lelaki yang kini menemani hari-hari saya. Dan intinya adalah sabar dalam menghadapi cobaan Allah.

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jikalau Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angina, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bagi setiap orang yang bersabar dan banyak bersyukur.” [Asy-Syura: 32 – 33]

Dari sinilah saya merasa yakin bahwa jodoh itu memang rahasia Allah. Sudah pasti skenario Allah lebih indah, ada cerita-cerita bahagia yang terangkai dibalik rahasia itu. Tentang suami saya, barangkali tak ada yang istimewa. Dia tak ubahnya lelaki biasa yang sama dengan suami-suami lain. Namun, hampir 14 tahun bersamanya saya banyak belajar tentang kehidupan. Ya…dia sangat istimewa di mata saya. Dia adalah orang yang saya sayangi sepanjang pernikahan kami.

Mengapa harus suami?

Kami menikah karena dipertemukan oleh orang tua. Bukan sebuah keterpaksaan, namun kami memahami bahwa inilah cara kami berbakti kepada mereka. Meski ada yang menyebut bahwa perjumpaan kami ibarat kisah Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya, namun kasih sayang kami sangat tulus. Kami bisa memahami satu sama lain bahkan ikhlas menerima kekurangan masing-masing.

Kisah hidup kami bukan berarti mulus tanpa masalah sedikitpun. Bahkan usai menikahpun, saya harus resign dari tempat kerja demi mendampingi suami yang dinas di Papua. Saat itu kami resmi meninggalkan keluarga dan kampung halaman, serta memulai hidup baru di sebuah pulau yang masih asing bagi saya. Ya…belajar hidup seadanya, mengerjakan sesuatu sendiri. Apalagi kehidupan di Papua sangat kejam, semua harga kebutuhan sangat mahal, otomatis kami harus mencari pinjaman di bank dan merelakan gaji suami terpotong setiap bulannya.

Bukan hanya itu, dua tahun menikah, rupanya Allah belum memberikan kepercayaan kepada kami untuk mendapatkan keturunan. Berbagai upaya pun kami lakukan, mulai dari mengkonsumsi obat herbal, datang ke tukang pijit hingga berobat ke dokter kandungan yang sangat ahli. Lagi-lagi suami saya merelakan gajinya kembali terpotong bank demi upaya ini. Dan ikhtiar kami pun dijawab Allah. Setelah berjuang dengan segala cara, akhirnya kami dikarunia seorang anak laki-laki yang sehat.

anak semata wayang kami
Ternyata, hidup di perantauan dan baru melahirkan tanpa didampingi keluarga terasa begitu mengharukan. Apalagi anak saya yang masih kecil kerap dihinggapi penyakit. Mulai dari tidak cocok susu formula, terserang serampak hingga kena penyakit tipes. Otomatis membuat saya merasa sedih. Namun berkat suami yang selalu meyakinkan saya, bahwa tak ada sesuatu yang tak mungkin, tak ada penyakit yang tak ada obatnya, sayapun bisa menjalani hari-hari itu dengan ikhlas.

Seikhlasnya saya menjalani hidup, kadang terbersit rasa haru yang membuat saya harus bertanya, mengapa cobaan itu terus menimpa saya? Baru saja anak saya sembuh dari penyakitnya, giliran suami yang harus bolak-balik ke rumah sakit karena terserang malaria. Papua memang endemik malaria. Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk aides aigepty itu kerap menjangkiti suami saya. Selama enam bulan berturut-turut, suami saya harus merasakan sakitnya suntikan jarum infus. Sedih melihatnya. Namun inilah kenyataan yang harus saya hadapi saat tinggal di Papua.

Bukan hanya suami, saya, bahkan anak saya pun beberapa kali juga terserang malaria. Kadang malaria tersiana kadang pula malaria tropica. Ini yang membuat saya merasa sedih jauh dari orang tua dan sanak saudara. Hanya ketegaran suamilah yang menguatkan saya untuk menjalani hidup di Papua. Dan kesedihanpun kembali saya rasakan manakala suami saya mengalami pengapuran di tulang kakinya. Beberapa kali mengikuti tes untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi, nyatanya gagal karena kakinya tidak bisa digunakan untuk tes lari. Dalam hati saya sempat bertanya, akankah selamanya suami saya berdinas di Papua?

Saya berusaha tegar, teringat cerita senior yang mengatakan bahwa kesuksesan suami adalah berkat doa istri. Dari situlah saya kembali berikhtiar meminta pertolongan Allah agar dimudahkan segala urusan suami saya. Lagi-lagi mukjizat itu menghampiri kehidupan kami. Dalam keadaan suami saya yang pincang, ternyata dia dinyatakan lulus tes. Subhanallah….sungguh skenario Allah memang indah pada waktunya.

Dan Alhamdulillah, kini kami telah tiga tahun menjalani kehidupan yang lebih baik di Bali. Jauh dari suasana yang menakutkan kala masih di Papua. Tentang suami, rupaya dia lebih mementingkan keluarga ketimbang karier. Suami saya adalah anggota TNI, dan untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi tentunya butuh pendidikan. Baginya keluarga adalah segalanya. Tak pernah dia berbuat curang atau tidak jujur. Apa yang didapatkan selama bekerja selalu diceritakan kepada saya. Bahkan saya dianggap sebagai teman berbagi cerita. Hasil dari kerja kerasnya selalu ditunjukkan kepada saya, sedikitpun tak ada yang disembunyikan.

keluarga kecil kami
Saya ibarat seorang “princess” yang selalu mendapat kejutan. Barangkali inilah cara suami saya menyenangkan saya. Kadang air mata ini tanpa sengaja mengalir begitu saja. Teringat pemberian suami yang begitu banyak. Sementara saya? Jarang saya memberikan kejutan untuk suami, meski di hari ulang tahunnya. Dan satu hal yang saya kagumi dari suami, dia suka berbagi. Tak pernah membanding-bandingkan antara keluarganya dan keluarga saya. Dia selalu memberikan porsi yang sama kepada keluarga besar kami.

Di suatu waktu dia membantu merenovasi rumah ibu yang terlihat rapuh dimakan usia. Bahkan dia juga memberikan modal usaha kepada adik saya agar usahanya makin berkembang. Di lain waktu dia memberikan uang kuliah untuk keponakannya, membantu membiayai berobat ayahnya yang tangannya patah akibat jatuh dari atap. Bahkan, kepada saudara-saudara yang kurang mampu, dia tak segan untuk berbagi. Itupun diberikannya secara merata saat berkunjung ke rumah saudara saya dan saudaranya.

Sudah pasti apa yang dilakukannya tentu ijin saya terlebih dahulu. Dan untuk melakukan itu semua, bukan berarti harus mengambil uang gajinya setiap bulan. Namun dari usahanya diluar gaji bulanan yang telah dipercayakan kepada saya. Inilah yang membuat saya makin terharu dan terus bersyukur bahwa Allah memang tidak salah memilihkan pendamping hidup untuk saya.

Saya pun ingin memberikan sesuatu kepada suami sebagai ucapan terimakasih atas semua yang telah diberikan kepada saya, baik kasih sayangnya, pengertiannya maupun pengorbanannya. Dan barang yang paling cocok saya berikan adalah satu unit televisi. Rasanya inilah yang dibutuhkan saat ini.

Mengapa harus televisi ?
Ya....barangkali dalam satu rumah ada satu unit televisi sudah cukup. Namun apalah jadinya bila televisi itu dikuasai oleh anak saya untuk menonton film kartun. Bahkan seringnya ia mengundang tetangga untuk nonton bareng di rumah, hingga suami saya terpaksa harus mengalah mengikuti kemauan anak. Padahal jauh dilubuk hatinya, dia ingin menonton acara lain yang lebih penting dari film kartun, seperti berita, pertandingan bola dan sebagainya.

nonton film bareng tetangga
Andai saya bisa memberikan satu unit televisi sebagai hadiah, mungkin ayah dan anak tak akan sering uring-uringan karena rebutan channel, karena masing-masing punya kesukaan yang berbeda. Semoga keinginan saya terwujud. Hadiah spesial untuk orang tersayang akan menjadi kenyataan....amin.





Posting Komentar

3 Komentar

  1. semoga bisa mwujudkan hadiah untukyg teristimewa di hati mbak

    BalasHapus
  2. Anak2 memang sering menguasai tv kalo nonton sehingga orang dewasa terpaksa mengalah.. Semoga Mba Yuni segera merealisasikan hadiah istimewanya buat sang suami yaa :)

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...