Konsisten Menjadi Diri Sendiri

“Mbak mengapa anaknya di sekolahkan di sekolah negeri? Sayang lho mbak. Sekarang kan banyak sekolah swasta yang lebih berkualitas, membuat anak tambah pintar...bla...bla...bla....”

“Duh mbak, kasihan anaknya harus bolak-balik pindah sekolah. Mbok ya tidak usah ikut suami, menetap aja disini. Biar suaminya yang mengalah. Kan bisa pulang sebulan sekali. Kalau anak harus sering pindah sekolah takutnya tidak bisa mengikuti pelajaran di tempat baru.”

Atau.......

“Sayang ya mbak ijazah sarjananya dianggurin. Coba kalau dari dulu tahu bakal jadi ibu rumah tangga, tentu tidak perlu repot-repot kuliah. Sudah habis biaya banyak, menganggur lagi.”

“Anaknya dititip ke neneknya aja mbak. Kan sudah besar tuh, jadi mbak punya banyak kesempatan untuk mencari pekerjaan lagi. Hidup pun lebih terjamin, tidak seperti ini.”

siap menjadi diri sendiri

Barangkali bukan hanya saya yang pernah mendengar kalimat panjang lebar seperti diatas. Kalimat bernada cibiran yang seringkali dilontarkan dari sebuah kesimpulan tanpa bukti. Bisa jadi orang yang berkata demikian hanya melihat dari kacamata pribadinya tanpa melihat kenyataan sesungguhnya.

Hidup ini tak ubahnya seperti arena pertarungan. Masing-masing bersaing untuk mendapatkan kepuasaan. Tak jarang ada juga yang berusaha mencampuri urusan orang lain, berlomba-lomba pamer kekayaan dan sebagainya. Bahkan, ada yang bersandiwara demi sebuah pengakuan. Ia berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuan, seperti terpaksa berhutang demi membeli mobil, rumah, agar dianggap orang kaya, sementara hidupnya tidak tenang karena jeratan hutang.

Sekali lagi, hidup di dunia ini harus #BeraniLebih konsisten menjadi diri kita sendiri. Jangan mudah termakan emosi, jangan takut kalah bersaing atau jangan iri dengan kepemilikan orang lain. Kalau kita siap menjadi diri sendiri, niscaya bisikan-bisikan yang menyesatkan, yang membuat hati kita goyah tentunya tidak akan mempan.

Saya hanya seorang ibu rumah tangga. Lulusan sarjana dari universitas negeri di Malang, yang selalu mengandalkan gaji suami diawal bulan, yang selalu berpindah-pindah mengikuti tugas suami. Anak pun terpaksa bolak-balik pindah sekolah. Bahkan, rumah kami pun masih rumah dinas milik negara, tidak mempunyai mobil atau harta yang diandalkan. Kami juga mempunyai hutang di sebuah bank. Sedihkah saya? Kecewakah saya?

Saya belajar dari kebahagiaan orang lain. Ketika melihat keluarga pemulung yang bahagia dengan memakan sebungkus nasi, disinilah saya bersyukur. Bahwa kehidupan saya jauh lebih baik dari mereka. Mereka bisa bahagia, harusnya saya bisa lebih dari mereka. Inilah yang akhirnya mendorong saya untuk #BeraniLebih konsisten menjadi diri sendiri, dan menutup mata dari persaingan duniawi. 
Dengan demikian saya menjadi tenang menjalani kehidupan yang telah Allah berikan.

Untuk apa bersaing menumpuk kekayaan kalau toh akhirnya merugikan diri sendiri. Untuk apa menurutkan ego kalau akhirnya membuat keluarga tercerai berai. Saya bahagia dengan kehidupan saya saat ini. Sebuah kebahagiaan yang tak terganti, manakala saya bisa tinggal serumah dengan suami dan anak, bisa melayani dan mendampingi mereka, bahkan bisa menemani anak menggapai prestasi tanpa terkendala oleh lingkungan baru.


Yang penting saya siap menggali kemampuan saya demi kebahagiaan keluarga, tanpa terprovokasi oleh pengaruh luar. Bukankah menjadi diri sendiri akan jauh lebih baik ketimbang menjadi bayang-bayang orang lain?  Bagaimana dengan Anda?



Akun facebook : Yuni Fawwaaz Rudy

Akun twitter     : @Yunihan09Sri

Jumlah kata : 474

Posting Komentar

20 Komentar

  1. setuju mak, lebih baik menjadi diri sendiri daripada hidup dlm kepura2an

    BalasHapus
  2. Setuju mba #Beranilebih menjadi diri sendiri dari pada mengikuti cara orang lain.
    btw semoga bisa jadi juara yah mba :D

    BalasHapus
  3. berani lbh jd diri sendiri
    knp hrs jd bayang2 org? kdg omongan org tu u

    knp hrs pura2 si/bohong?
    sukses y bwt lombanya
    salam knal
    @guru5seni8
    pnis di www.kartunet.or.id dan http://hatidanpikiranjernih.blogspot.com

    BalasHapus
  4. Bener banget mba berani lebih mjd diri sendiri dan menutup mata dr persaingan duniawi, soalnya kl mikirin saingan duniawi gak ada habisnya yaa... :(

    BalasHapus
  5. Sangat SEPAKAT. Bahagia itu kita yang tentukan bukan orang lain, bahagia juga tidak selamanya persoalan harta tetapi lebih pada persoalan hati. Jadi say thanks aja kepada orang2 yg rajin memperhatikan kita dengan saran2 nya yang luar biasa meskipun tidak bisa diikuti karena berlawanan dengan kata hati

    BalasHapus
  6. setuju...kalo lihat orang lain terus bisa silau :)

    BalasHapus
  7. iya mbak bener..apapun kita...lebih baik kita menjadi diri sendiri ya...makasih udah mengingatkan :)

    BalasHapus
  8. Aku juga serung dapat oernyataan seperti di atas mbak

    BalasHapus
  9. Be yourself and be proud if it ya mbak :)

    BalasHapus
  10. bagi link kontes blog nya mbak :)

    BalasHapus
  11. Bner banget mba, harus berani jadi diri sendiri

    BalasHapus
  12. cuma kita sendiri yang lebih paham tentang siapa diri kita. dan apapun keputusan yang kita ambil toh konsekuensinya kembali ke kita ya mak.
    semangatttt

    BalasHapus
  13. kadang omongan-omongan luar itu memang suka menjengkelkan :D

    BalasHapus
  14. Bersyukur dengan kondisi saat ini, dan menjalani dengan bahagia, makasih Mba udah sharing

    BalasHapus
  15. Mendengarkan kata orang itu boleh saja, tapi tidak setiap perkataan orang harus dilakukab. Kalau nggak sesuai idealisme dan value, kalau saya ya cuek saja ^^ nice share mak!

    BalasHapus
  16. Setuju banget mak Yuni..enak jadi diri sendiri..ada yg ngmg cuekin aja.

    BalasHapus
  17. Can't agree more mak...dengan be rani menjadi diri sendiri, menjalani pilihan hidup kita...semuanya akan terasa lebih ringan...sukses kontesnya..

    BalasHapus
  18. Jalan yang kita pilih tidak selalu baik di mata orang lain. Tidak selalu (terlihat) baik karena salah satunya karena kita nggak kasih tahu detail, kita punya cita-cita/harapan apa pada jalan yg dipilih? Goalnya apa? Makanya menimbulkan yang namanya nyinyir dan judging berlebih.

    Kalau saya, sih, sejauh ini tutup telinga aja kalau ada yg nyinyir atau ngerasani. Toh, saya nggak perlu njembrengin satu-satu, apa aja yg mau saya lakukan, ke depannya apa yang ingin diraih, rencana-rencana, termasuk apa aja yg udah dikerjain untuk mewujudkannya. Biar mereka "tahu beres" aja.

    Fokus sama tujuan. Dengarkan dan serap yang baik-baik sedangkan yang bikin penyakit lekas-lekas usir cantik.

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...