Sawang Sinawang

Peribahasa ini saya tulis bukan karena sok latah ikut kontesnya mas Belalang Cerewet, namun ini adalah istilah Jawa yang kuranglebihnya berhubungan dengan hati, pikiran dan penglihatan kita. Kadang kita menyimpulkan sesuatu dari penglihatan, dan bukan dari keadaan senyatanya.

Sebagai contoh kita mempunyai teman yang mapan dalam pekerjaannya. Ia mempunyai jabatan yang bagus dikantornya. Meski sudah berkeluarga dan mempunyai seorang anak, kadang kita melihatnya lebih ke jabatannya. Jabatan bagus pasti gajinya tinggi, dapat mencukupi semua kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan keluarganya.


Namun apakah kita tahu cerita sebenarnya dibalik jabatannya yang bagus? Semua orang pasti tidak percaya bila ia mengatakan tidak mempunyai uang atau bahkan hutangnya banyak. Ketika anaknya merengek minta sesuatu, tidak serta merta bisa memenuhinya karena tidak ada uang. Apakah Anda percaya? Saya yakin banyak orang yang tidak percaya, bahkan menganggapnya berbohong.

Padahal yang sebenarnya terjadi, meski gajinya besar namun sebagian sudah digunakan untuk membayar cicilan bank dan kredit rumah. Lalu timbul lagi pertanyaan, buat apa berhutang? Yah...kita memang tidak tahu kebutuhan orang lain. Semakin tinggi jabatan otomatis semakin besar gajinya. Hal inilah yang mendorong tingginya suatu kebutuhan. Disinilah penyebab mengapa orang yang gajinya besar masih saja merasa kurang? Semakin besar gaji seseorang semakin banyak pula kebutuhannya, kalau dia tidak pandai mengatur keuangannya, kemungkinan besar gajinya tidak cukup sebulan.

Jadi saya rasa, kita tidak perlu iri dengan orang lain. Rejeki sudah ada yang mengatur, namun bukan lantas kita diam menunggu datangnya rejeki. Kita harus bekerja keras agar rejeki itu terus menghampiri kita. Satu hal yang harus kita lakukan yaitu selalu mengucap syukur atas rejeki yang kita terima, berapapun besarnya. Mensyukuri setiap nikmat akan membuat kita merasa bahagia lahir dan batin.

Sebaiknya kita harus "sawang sinawang", jangan buru-buru menyimpulkan sesuatu dari penglihatan saja. Seorang guru honorer yang berangkat pagi pulang siang, mengenakan seragam bersepatu hak tinggi sambil menenteng tas, pasti terlihat keren dibandingkan ibu rumah tangga yang setiap hari mengurus dapur. Tetapi tahukah Anda bahwa sang guru honorer berkorban demi mempertahankan hidup, ia rela digaji ratusan ribu, bahkan untuk makanpun ia harus benar-benar ngirit. Sementara sang ibu rumah tangga, meski ia berkutat dengan pekerjaan dapurnya, namun ia bisa menikmati makanan lezat, membeli barang mewah, karena suaminya pengusaha.

Jadi mulai sekarang mari kita bijak menilai seseorang, istilah kerennya "sawang sinawang". Jangan tinggi hati bila sudah diatas atau sebaliknya jangan minder bila keadaannya biasa-biasa saja. Allah memang yang menciptakan dunia penuh warna ini, Ada yang miskin ada pula yang kaya, bukan untuk saling hujat dan pamer, namun demi mempererat sebuah hubungan. Yang kaya membantu yang miskin, demikian yang miskin mau berusaha keras memperbaik hidupnya. Mari kita sama-sama berbagi..... 

Posting Komentar

3 Komentar

  1. Benar, Mak. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin banyak pula kebutuhannya.

    BalasHapus
  2. aku juga merasakannya.. dulu gaji gk begitu besar kekurangan ..skearang gaji alhamdulillah..tp masih kurang juga.. karena kebutuhan juga bertambah :)

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...