Kegalauanku Semasa Kuliah

Kenangan 18 tahun silam rasanya masih melekat dalam ingatanku. Tak mungkin kulupa, karena aku tengah berjuang saat itu. Sebuah perjuangan meraih mimpi demi mengejar sebuah asa.  Tahun 1996, aku sempat dilanda kebimbangan antara mencari pekerjaan atau melanjutkan kuliah.  Keinginanku untuk kuliah di universitas negeri kandas sudah, pasalnya aku gagal dalam UMPTN.

Namun, aku bukanlah seseorang yang pasrah pada keadaan. Gagal UMPTN, masih ada tes D3 atau Politeknik yang bisa kuikuti.  Ibu memang berjanji akan membiayai kuliahku, asal aku diterima di universitas negeri. Bukan berarti beliau tidak setuju bila aku kuliah di universitas swasta. Benturan biaya itulah yang  membuatku menghapus sederetan universitas swasta dalam daftar prioritasku.

Aku penasaran dengan pendidikan di politeknik. Menurut kabar yang beredar, sistem perkuliahannya menggunakan sistem paket dan bukan sistem sks seperti universitas pada umumnya. Disamping itu cara belajarnyapun mirip pendidikan di sekolah yang dibagi dalam beberapa kelas, sehingga ada kelas 1, 2 dan kelas 3.

Yang membuatku makin penasaran, karena materi kuliah di politeknik dipadatkan, maka bentuk ospeknya semi militer. Aku semakin tertarik untuk mengikuti tes di politeknik. Aku bahkan ingin merasakan bagaimana di ospek ala militer? Pastinya membuatku tertantang.

Benar saja, aku mencoba mengikuti tes di politeknik Unibraw dengan mengambil jurusan Administrasi Niaga, program studi Kesekretariatan. Banyak sekali peminatnya kala itu. Namun aku tetap optimis bahwa kelak aku akan kuliah di tempat itu. Ternyata, setelah pengumuman itu tiba, namaku kembali tak kutemukan di deretan nama-nama yang lolos seleksi. Berulangkali kubaca dari atas sampai bawah, tetap saja namaku tak ada.

Lemas seluruh tubuhku saat itu. Ingin rasanya aku teriak sekencang-kencangnya, namun rasa malu itu lebih menahanku untuk memilih diam. Bahkan aku ingin berontak, betapa tidak adilnya Allah. Mengapa disaat hasratku kian menggebu, tak ada secuilpun rasa belas kasihan dariNya. Kegalauan tengah melandaku kala itu.

Kuhabiskan waktuku dengan mengunjungi mall, karena aku tak ingin secepatnya melihat kesedihan menghampiri raut wajah ibu. Hingga malam menjelang kuputuskan untuk pulang ke rumah dengan kereta api terakhir. Dalam perjalanan aku sudah membayangkan, betapa kecewanya ibu. Bahkan aku mereka-reka kemana saja tujuanku setelah ini. Mencari pekerjaan? Oh….

Aku tertunduk lesu memasuki gerbang rumahku. Pikiranku tak karuan. Tetapi ibu tampak ceria. Dari jauh beliau meneriakiku.

“Barusan Reni telpon katanya kamu ketrima di politeknik. Besok diajak daftar ulang bareng katanya.”

Aku terperanjat. “Tak mungkin!”, pekikku dalam hati.

Tanpa menjawab sapaan ibu, aku langsung berlari menuju box telpon rumah. Segera kutelpon Reni dan memastikan kabar itu. Ternyata Renipun berkata demikian. Aku diterima di politeknik. Rasanya seperti tidak masuk akal.

Seharian aku menghabiskan waktu keliling mall di Malang demi menghapus kegalauan hatiku. Dan pagi tadi papan besar yang terpampang di depan kampus sudah kupelototi satu persatu, bahkan berulangkali, namaku tetap tak ada. Ajaibkah sehingga namaku tiba-tiba muncul? Ah…..

Ternyata benar. Namaku ada di urutan kesepuluh dari bawah. Wajar saja mataku yang sudah minus tak mengenali rangkaian huruf yang menyusun namaku. Rasa bahagia itu akhirnya menyembul dalam dadaku. Namun aku juga sedih, kejadian kemaren yang membuatku kecewa hingga menganggap Allah tidak adil, ternyata berimbas pada hilangnya kartu peserta ujianku.

Memang, ketika namaku tidak ada, aku langsung pulang sebentar ke rumah kost yang sudah setahun kuhuni, sebelum akhirnya jalan-jalan ke mall. Tanpa pikir panjang kartu itu kubuang begitu saja kedalam bak sampah. Aku yakin ia sudah berpindah tempat  gegara sudah diambil petugas kebersihan pagi tadi. Duh….mengapa nasib buruk menimpaku!

Kukerahkan seluruh keberanianku untuk mengatakan sejujurnya kepada petugas daftar ulang. Mereka hanya mesam-mesem. Aku takut namaku akan dicoret karena ulahku sendiri. Ternyata sangkaanku salah. Aku diminta fotokopi ktp dan membuat surat keterangan bermaterai. Setelahnya aku resmi diterima menjadi mahasiswa politeknik.

Aku memang merasa tertantang. Sejak mengikuti kegiatan ospek yang semi militer hingga memasuki perkuliahan, rasanya sangat menguras tenaga dan pikiranku. Ospek yang begitu ketat dan padat membuat berat badanku turun drastis. Demikian juga dengan masa perkuliahan setelah ospek berakhir. Satu kelas yang hanya berisi 21 orang ternyata membuat masing-masing dari kami bersaing mengejar prestasi.

foto jadul jaman kuliah

Di tengah antusiasku mengikuti perkuliahan, sebuah kabar tidak mengenakkan datang dari ibu. Ibu yang menelponku di rumah kos suatu malam, sontak membuatku sedih. Beliau ragu apakah masih bisa membiayaiku kuliah? Sementara gaji pensiunan janda yang diterima ibu setiap bulannya jadi berkurang karena skepnya sudah digadaikan ke bank. Ibu bahkan harus membantu nenek memenuhi kebutuhannya di desa.

Rasanya dunia mau runtuh. Aku membayangkan akan DO dari politeknik. Itu artinya cita-citaku untuk mendapatkan selembar ijasah, gagal sudah. Dan aku kembali akan mencari pekerjaan berijasahkan SMA. Kembali rasa galau itu melandaku. Namun aku tak mau gegabah mengambil keputusan seperti dulu. Kucoba mencari solusi diantara kegamangan hatiku. Bahwa aku harus tetap kuliah dengan biaya sendiri.

Tanpa sengaja, aku mengenal mahasiswa tubel (tugas belajar) dari luar Jawa. Meski tidak satu kost denganku, namun kami sering ketemu di kampus, walau tidak satu jurusan. Mereka sedang menempuh program sarjana. Rata-rata kesulitan mereka adalah membuat makalah dan menyusun skripsi. Dengan sebuah keberanian, kutawarkan jasa kepada mereka. Bak gayung bersambut tawaranku diterimanya dengan baik. Aku mendapatkan penghasilan dari pekerjaan sampinganku, membuatkan makalah dan skripsi untuk mahasiswa tubel.

Hmm….akhirnya aku bisa membiayai kuliahku tanpa membebani ibu. Bahkan, demi mengejar selembar ijasah, aku ikut bersaing dengan ke-20 temanku untuk mendapatkan nilai bagus. Ternyata, usahaku membuahkan hasil. Tiap semester aku mendapatkan IP cumlaude (3,6). Dari sinilah akhirnya bu Ita yang waktu itu menjadi wali kelasku mengajukan namaku sebagai peraih beasiswa supersemar selama setahun. Bangga rasanya melihat namaku berada di deretan mahasiswa penerima beasiswa supersemar se-politeknik Unibraw kala itu.

Tanpa menunggu sebulan, akupun dipanggil bagian administrasi untuk menandatangani tanda bukti penerimaan beasiswa. Rasanya sungguh terharu ketika beliau menyerahkan sebuah amplop berisi uang. Aku masih ingat kala itu beasiswa supersemar yang kuterima berjumlah 720 ribu yang diberikan dalam dua semester, sehingga tiap semester aku menerima 360 ribu. Dan aku merasa itulah bayaran kerja kerasku selama itu.

Duh…rasanya dosaku kian menumpuk. Berbagai rasa gamang yang sempat melandaku sepertinya tidak beralasan. Apalagi aku sempat menganggap Allah tidak adil. Aku ingin terus bersujud dan memohon ampun padaNya. Bahkan akupun makin sadar bahwa senyatanya hidup di dunia ini penuh dengan ujian. Ketika kita diberi sebuah ujian, bukan lantas marah kepada Allah. Namun kita harus berjuang memenangkan ujian itu. Sesungguhnya ketika kita terpilih menjadi jawaranya, kitapun akan sadar bahwa segala keinginan kita harus diperjuangkan tanpa kenal putus asa.


Tulisan ini diikutsertakan dalam giveaway "Ya Rabb Aku Galau"

Posting Komentar

12 Komentar

  1. woowww cumlaude ..mantaaabbsss :)
    sukses GA nya mbak :)

    BalasHapus
  2. Wah keren dirimu mbaa, bisa meraih IPK cumlaude segitu :)slm sukses slalu ya :)

    BalasHapus
  3. perjuangan namanya, mak. Sukses buat GA-nya:)

    BalasHapus
  4. sukses ikut lombanya ya mak sri...

    BalasHapus
  5. Wah... benar-benar kayak mujizat ya, Mbak. Saat kita sudah hopeless, eh ternyata semua tak seperti yang kita kira. Hmm... jadi membangkitkan memori masa laluku juga. Sukses GA-nya, Mbaaaak. ^^

    BalasHapus
  6. menarik sekali kisahnya mbak, bisa jd termotivasi setelah baca ini.... :D
    sukses dgn giveawaynya ya mbak..... :)

    BalasHapus
  7. Semoga sukses GA-nya. Salam dari Yaman.

    BalasHapus
  8. "Bahkan akupun makin sadar bahwa senyatanya hidup di dunia ini penuh dengan ujian."
    ...
    Kata2mu itu menarik sangat - karena saat ini diriku juga merasa sedang diuji oleh-Nya.
    Semoga saya mampu melewatinya. Amin.

    BalasHapus
  9. Kita memang harus selalu berorasangka baik denga Allah.
    Etapi, itu Mbak Sri yang mana >> lirik foto.

    BalasHapus
  10. Hidup kalau gak ada ujian, itu bukan hidup namanya. Dan galau adalah pemanisnya.. :-D

    BalasHapus
  11. seneng banget bisa dapet beasiswa. bisa hemat biaya ya, mba

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...