Mereka Patriot di Kehidupanku

Apa yang ada dalam benak Anda ketika kata “patriot” disebut? Tentunya hal pertama yang ada dalam bayangan kita adalah sederetan tokoh yang sempat mengharumkan bangsa saat mengusir penjajah puluhan tahun silam. Padahal senyatanya semua orang berhak menyandang “patriot” dalam dirinya.

Boleh jadi kita menganggap negara kita telah merdeka, bahkan telah bebas dari belenggu penjajah yang menyengsarakan semua rakyat. Namun senyatanya, kita belum sepenuhnya merdeka. Genderang perang itu seolah terus bertalu menuntut sebuah kemerdekaan yang hakiki. Hidup ini sarat dengan perjuangan. Kita harus berjuang melawan kemalasan, keangkaramurkaan, kemiskinan, kenistaan, hawa nafsu dan keinginan yang menggebu.


Sementara gelar patriot agaknya pantas diberikan kepada mereka yang memenangkan perang batin yang berkecamuk dalam dirinya. Seorang anak yang belajar sungguh-sungguh hingga akhirnya menjadi bintang kelas, layak disebut patriot. Seorang ibu yang tengah berjuang menanti proses kelahiran buah hatinya hingga melahirkan dengan selamat, itupun layak menyandang predikat patriot. Dan masih banyak lagi patriot-patriot yang lahir di sekitar kita.

Tanpa kita sadari ternyata di lingkungan tempat kita berdiam diri muncul patriot-patriot yang membangkitkan semangat dan sangat menginspirasi. Meski sejujurnya setiap orang tua selalu dianggap patriot bagi anak-anaknya karena kesabarannya mendidik atau bahkan perjuangannya menembus onak dan duri kehidupan. Dan akupun mengakuinya.

Bagiku sosok almarhum ayah adalah patriot sejati di kehidupanku. Ayah yang kini hanya bisa kupandangi lewat bingkai usang yang berjejer rapi di tembok rumahku, ternyata mampu membangkitkan semangatku manakala aku terjerembab dalam sebuah problematika kehidupan. Beliau menginspirasi semua orang, bukan karena predikat pejuang yang disangdangnya, tetapi lebih kepada jiwa kemanusiaannya yang dimilikinya.


bingkai foto almarhum ayah yang usang

Mengenang sosok ayah sungguh mengharubirukan suasana. Senyatanya aku tak malu mempunyai seorang ayah yang lebih pantas kupanggil kakek, karena terpautnya usia yang sangat jauh antara ayah dan ibu. Justru aku sangat bangga mempunyai ayah pekerja keras dan penuh semangat. Perjuangan ayah memang penuh liku. Beliau harus berjuang mati-matian menghidupi sebelas adiknya. Namun beliau tak pernah pantang menyerah.

Ayah selalu menyelipkan doa-doa khusyu’ disetiap usahanya. Meski kadang doa itu tak dikabulkanNya, namun ayah tetap berusaha. Beliau terus bekerja….bekerja dan bekerja hingga mencapai hasil yang memuaskan dan sukses membiayai semua adiknya.

Di lain waktu ayah masih harus membiayai saudara-saudaranya atau bahkan tetangganya yang membutuhkan bantuan. Semua beliau lakukan dengan ikhlas tanpa pamrih. Dalam benak beliau selalu tertanam sebuah semboyan hidup bahwa rejeki itu datangnya dari Allah, berapapun besarnya niscaya harus disyukuri. Sudah sepantasnya bila kelebihan rejeki itu diberikan kepada yang membutuhkan, sesungguhnya itu kepunyaan mereka.

 Sungguh….mengingat ayah, membuatku berurai air mata. Aku masih ingat kala kecil dulu, ayah yang selalu membangunkanku setiap pagi, lalu memintaku untuk menunaikan sholat shubuh, setelahnya aku diajak serta bersepeda bersama adik mengelilingi pinggiran sawah. Atau ayah yang selalu mengajariku mengaji dan melantunkan ayat-ayat Allah dengan merdu….seolah menjadi pengingat yang membangkitkan semangatku yang mengendor suatu ketika.

Ayah bahkan dengan telaten mengajariku berbagai hal dari A sampai Z. Dengan segenap kasih sayangnya, beliau selalu menjadi pelindung anak-anaknya manakala rasa dingin, rasa sakit atau rasa takut itu menghinggapi satu persatu anaknya.

Sayang….ayah tak lama menemani kehidupanku. Selain faktor usia, penyakit komplikasi yang sudah lama dideritanya membuat beliau merasa kepayahan. Namun satu hal yang membuatku salut, semangat hidup ayah sangat tinggi, beliau dengan segala caranya berusaha membuat penyakit yang bersemayam didalam tubuhnya sirna. Tetapi rupanya Allah lebih sayang pada Ayah. Ayah akhirnya pergi meninggalkan kami bersama kenangan indahnya disaat usiaku belum genap tujuhbelas tahun.

Hanya sabar dan ikhlas yang membuatku tetap tegar menghadapi kenyataan itu. Namun, meski ayah telah tiada, beliau selalu hidup dalam relung sanubariku. Semangat beliau, bukti nyata kerja keras beliau atau bahkan wejangan-wejangan beliau membuatku mengagumi sosok ayah. Masih jelas terngiang ajaran-ajaran ayah tentang sholat, mengaji, disiplin waktu atau bahkan berbagi pada sesama, seolah membuatku ingin seperti beliau.

Di saat aku merasa jatuh, ketika tangis ini kian meledak atau bahkan kala amarahku tak bisa kuredam, sukma ayah seolah datang menyadarkanku. Aku tiba-tiba mengingat sosok ayah yang telah lama kurindukan, hingga akhirnya semua rasaku yang sempat berkecamuk, seketika sirna dan berubah menjadi air mata keteduhan.

ayah pernah berjuang melawan penjajah


“Oh ayah….engkau adalah patriot kehidupanku. Bayangmu selalu hadir dalam sukmaku. Bisikanmu mengalun indah di relung sanubariku. Engkau hadir bak hembusan angin yang datang dan pergi secara tiba-tiba. Kau sibakkan rambutku yang tergerai, tuk menatap bola mata kehidupan yang menukik tajam di jiwaku. Bahasa kalbu yang kau bisikkan membuatku menyimpan asa bersama hidup yang penuh warna.”

Sementara sosok ibu……telah lama aku mengaguminya, bahkan jauh sebelum ayah tiada. Kekagumanku pada ibu terlebih ketika mendengarkan cerita kehidupan yang mengalir lembut dari bibirnya. 

Ibu...yang telah menjadi patriot di kehidupanku
Ibu….sejak kecil telah bergumul dengan kerasnya kehidupan, beliau berjuang demi keempat saudaranya. Ibu bahkan rela mengabdikan dirinya seumur hidup di keluarga ayah, yang kala itu masih dianggapnya sebagai paman. Dan setelah istri pertama ayah meninggal karena sakit, tak ada yang bisa ibu perbuat sebagai bentuk balas budi kecuali menerima lamaran ayah, lelaki yang lebih pantas menjadi ayahnya ketimbang pendamping hidupnya.

Sebuah keputusan yang teramat sangat berat!!! Tapi itulah realita. Ibu harus berjuang melawan cercaan keluarga ayah. Bahkan ibu harus mati-matian meyakinkan nenek untuk mendapatkan restunya. Walau senyatanya ibu berhasil menjadi jawara, namun kebersamaan itu terasa amat singkat. Yah….tujuhbelas tahun, seperti umurku kala itu, hanya sampai disitulah umur cinta ayah dan ibu, setelah akhirnya cinta ayah direnggut olehNya. 

Sementara ibu?

Ibu dengan segenap tenaganya harus kembali berjuang seorang diri, menghidupi aku dan adikku yang masih sama-sama sekolah. Tak jarang pukulan berat itu datang dari keluarga ayah, mereka menuntut sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Namun ibu bagaikan Srikandi yang siap menghempas badai seberapapun hebatnya.

Untuk aku dan adik, ibu rela seluruh kulitnya menghitam karena terpaan sinar matahari yang terik. Demi pendidikan kami, ibu ikhlas berjalan menjajakan kue-kue keringnya. Bahkan demi kedua anaknya, ibu pun sanggup mendirikan warung kelontong, berjualan minyak tanah, berjualan sepeda atau bahkan membuka usaha terima kost.

Ibu tak pernah pupus harapan memperjuangkan pendidikan kami, apapun resikonya. Semua usaha dilakukannya, asal halal dan bermanfaat. Bahkan kami sempat menjual motor kami atau menjual sejengkal tanah disamping rumah kami, semuanya demi pendidikan kami. Hingga akhirnya, masing-masing dari kami mendapatkan gelar sarjana dari sebuah universitas negeri di Malang. Semua berkat kerja keras ibu.

Yang membuatku salut…sampai detik ini rasa cinta dan kesetiaan ibu pada almarhum ayah tak pernah surut. Ibu rela menjanda. Terlebih beliau tak pernah mengingkari janjinya, bahwa ibu akan tetap mengabdi pada ayah sampai kapanpun, karena berkat ayah, keluarga ibu dapat mengurai benang kehidupan.

Dan kini…disaat aku telah berkeluarga, ingin rasanya mengajak serta ibu berkumpul bersama. Namun ibu menolaknya. Beliau merasa berat hati meninggalkan rumah kenangan peninggalan ayah. Bukan hanya ibu, aku, bahkan adikku selalu mengenang rumah tempat bersatunya hati kami kala kecil dulu. Dan ikatan itu sampai sekarang masih tertata rapi di dalam bingkai foto kami yang memenuhi setiap ruangan rumah itu.

Terkadang jauhnya jarak yang memisahkan aku dan ibu, membuatku sejenak melankolis, mengingat tahap demi tahap perjalanan yang telah lewat. Ada air mata, juga ada gelak tawa, kala mengingat segalanya tentang kenangan masa kecil dulu. Ibu dengan segenap perjuangannya, tak pernah secuilpun mengharap balas atas perjuangannya. Ingin rasanya membuat ibu tersenyum di sepanjang waktu, karena kutahu beban ibu teramat berat, saatnya kini beliau mengumbar senyum kemenangan.

Yah…meski aku masih sering memandangi wajah buram ayah dalam balutan bingkai usang, atau bahkan aku masih kerap mendengarkan nada renyah ibu lewat telepon seluler, namun aku masih menyimpan asa. Kelak dan suatu saat nanti, aku ingin kami kembali berkumpul bersama, menyatukan jiwa yang telah lama ngelangut memendam rindu, meski di tempat yang tidak lagi sama seperti saat ini. Karena mereka, “ayah dan ibu” adalah patriot di kehidupanku, yang selalu kurindukan kehadirannya, meski hanya membangkitkan rasaku yang tak menentu. Aku ingin memahat kenangan yang jauh lebih indah bersama dua patriot sejatiku. Semoga...........

Tulisan ini diikutsertakan dalam 


Posting Komentar

17 Komentar

  1. hmm mengharukan mak baca tulisan ini........
    jd teringat sama ayah dan ibuku di kampung halaman

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih mbak sudah mampir di blogku dan membaca ceritaku, memang kisah hidup orang tua kita sarat dengan makna dan mengharubiru

      Hapus
  2. Kini sudah ada patriot lagi di sampingmu ya Nduk
    Ayah saya juga veteran dan sudah meninggal dunia.
    Semua oragtua sesungguhnya patriot kita Jeng
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. ya betul PakDhe, suamiku juga patriotku yang saat ini membuatku bangkit, tapi perjuangan kedua orang tuaku yg serasa heroik dan patur kujadikan teladan
      Terima kasih Pakdhe

      Hapus
  3. Berbahagialah oarng tua yang mengerti bahwa kehidupan dan apa yang telah mereka lakukan, berarti dan dihargai oleh anak-anaknya...sukses GAnya Mak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. amin yaa rabbal alamin
      terima kasih mak sudah mampir

      Hapus
  4. ayah ibuku juga patriotku:) sukses GA nya...

    BalasHapus
  5. Eh.. kenapa ditulis bahwa ayahmu seharusnya dipanggil kakek? *salah fokus.
    sukses GA nya ya mak

    BalasHapus
  6. setiap membicarakan orang tua pasti selalu ada keharuan..jd ingat ortu yg di kampung #blogwalkingmalming

    BalasHapus
  7. "Setiap orang tua adalah patriot bagi anak-anaknya." Selalu terharu membaca catatan seperti ini. Semoga Alm. Ayah bahagia di sisi-Nya. Semoga inspirasi dari ayah ibu bisa diteruskan ke anak cucu... :)

    BalasHapus
  8. orang tua emang the best patriot ya mak, semoga kita bisa jadi anak yang membahagiakan mereka, dunia akhirat. :)

    sukses ngontesnya, mak

    BalasHapus
  9. Jadi kangen sama Bapak Mama, kedua patriot dalam hidup saya.
    Sukses untuk GA-nya ya :)

    BalasHapus
  10. Semoga ada tunas-tunsa patriot baru penerus perjuangan bapak ya mbak

    Matur nuwun mbak Yun, sudah turut menyemarakkan hajatan..

    BalasHapus
  11. ayahbunda selalu jadi patriot keluarga ya

    BalasHapus
  12. Pahlawan keluarga dan negara
    pasti sangat bangga punya ayah seperti beliau :-)

    BalasHapus
  13. Orang tua adalah sosok patriot yang melegenda di hati.

    Terima kasih atas partisipasinya pada Syukuran di Bulan Maret.

    BalasHapus
  14. dan sebenarnya, kita juga patriot, minimal untuk diri kita sendiri

    BalasHapus

Silahkan berkomentar yang sopan dan tidak saru, berkomentarlah menggunakan nama yang jelas, jangan nyepam atau meninggalkan konten dan link jualan, jadilah blogger yang sportif demi membangun hubungan baik. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini...